Wednesday, May 25, 2016

Kosong sama Kosong



Membaca judul di atas akan langsung teringat dengan sebuah lagu dari Slank. Kali ini bukan tentang lagu yang indah liriknya untuk didengar, tetapi tentang menyikapi “kesalahan” yang diperbuat oleh seseorang. Kesalahan yang dimaksud bisa berarti amarah, dendam, benci atau kecewa yang berujung kemarahan.
Kehidupan sehari-hari yang dijalani oleh seseorang terkadang tidak semulus gelas kaca diatas meja. Ada kesedihan ataupun kesenangan yang menyertainya, disebabkan kejadian dalam rentetan menit demi menit. Tidak ada yang mau menanggung kesedihan, hampir semua orang dengan tangan terbuka untuk memperoleh kebahagiaan.
Perjalanan bersosialisasi membuat interaksi dengan sesama menimbulkan gesekan negatif dan positif. Setiap interaksi yang mengarah ke sisi negatif mengakibatkan dampak pertentangan diantara pihak yang terlibat.
Prasangka jelek timbul pada diri seseorang akibat gesekan negatif dari pihak lain. Kejadian demi kejadian yang dianggap sepele pun bisa menjadi bom waktu siap meledak. Ibarat bom waktu adalah akumulasi kekecewaan yang dipendam, pemantiknya adalah amarah baru yang siap dinyalakan.
Boom… Amarah pun meledak dalam sekejap meluluhlantahkan kepercayaan, persahabatan dan persaudaraan yang telah lama terjalin.
Lantas bagaimana menyikapi persoalan seperti ini?
Ingatlah perjalanan Nabi Muhammad SAW diawal-awal masa kenabian, bahwa perlakuan penduduk Arab lebih kejam sebagai pembalasan atas dakwah yang disampaikan.
Sebagai contoh ketika penduduk Thaif melempari Rasulullah SAW dengan batu dan kotoran unta, apa yang dilakukan beliau justru berkebalikan dengan ego manusia, yakni mendoakan mereka. Sudah jelas perlakuan yang diberikan oleh penduduk Thaif memerangi dakwah, sang Nabi lebih memilih kebaikan sebagai balasan kepada mereka yang memberikan kejahatan.
Hampir sama pada masa kepemimpinan Utsman Bin Affan. Ketika para pemberontak yang berasal dari kaum munafikin berpura-pura masuk Islam, mereka leluasa menebar fitnah kebencian kepada sang khalifah.
Lantas apa yang dilakukan oleh Khalifah Utsman Bin Affan?
Karena Utsman merupakan sahabat nabi yang memiliki akhak paling mirip dengan Rasulullah, tentu yang dilakukan oleh beliau adalah mencegah terjadinya pertumpahan darah. Padahal fitnah dan hasutan yang dilakukan dari sekelompok kecil pemberontak dirasakan seperti pukulan yang merontokan tulang dari badan.
Sungguh fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.
Bagi Utsman Bin Affan bukan tidak mampu memerangi mereka. Ibarat pemberontak adalah lalat, dengan sekali tepuk pasukan muslim akan mampu memusnahkan pemberontak dalam sekejap. Tapi Utsman selalu berpesan bahwa jagalah perdamaian dengan tidak menumpahkan darah.  Hingga akhirnya umat di masa depan mengetahui bahwa keyakinan tersebut membawa kematian kepada beliau.
Sungguh apa yang dialami Rasulullah dan para sahabatnya dalam menghadapi gesekan didalam kehidupan bermasyarakat lebih berat dibandingkan kehidupan masa sekarang. Tauladan yang patut diikuti adalah tetap menjaga kedamaian meski gesekan-gesekan yang timbul membebani hati terdalam.
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. An Nisa: 99.
Dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”.
Pencipta kehidupan beserta isi di dalamnya memiliki sifat Maha Pemaaf dan Maha Pengampun, lantas sewajarnya manusia yang notabene ciptaan-Nya juga memiliki sifat-sifat tersebut.
Gesekan-gesekan kecil dari sisi negatif bisa dianggap sebagai warna kehidupan manusia. Warna warni bisa dinikmati tergantung bagaimana seseorang menyikapinya. Akan lebih nikmat bagi tiap orang, bahwa gesekan negatif yang timbul bisa diperlakukan “Kosong sama Kosong”. Artinya memaafkan dan melupakan perselisihan yang telah terjadi.
Kembali mengutip Slank, -PLUR- (Piss, Love, Unity n Respect).

Hormati sesama, hargai sesama dan lupakanlah kesalahan orang lain selagi perbuatan tersebut tidak melanggar hukum negara maupun syar’i.