“Ketahuilah
bahwa sabar itu berhubungan dengan iman karena kebajikan yang paling utama
adalah taqwa, dan taqwa hanya dapat dicapai dengan sabar.” (Khalifah Umar).
Sabar, kata yang
sering terdengar ketika mendapati musibah. Bahkan sering diucapkan ‘orang sabar
disayang Tuhan’. Sabar bisa menjadi kata yang mudah diucapkan bagi orang lain,
akan tetapi bagi si penerima musibah, mungkin berat menjalani.
Dari segi bahasa,
sabar berasal dari kata Ash-Shabr yang berarti al-habsu (menahan). Secara
syariat, sabar terkait dengan tiga perkara, yaitu: sabar dalam mentaati Allah,
sabar dari hal yang dilarang atau diharamkan dan sabar terhadap takdir yang
menyakitkan.
Sabar merupakan
menahan diri dari mengeluh atau mengadu dengan batas penderitaan dan kesulitan
yang dihadapi. Sabar identik dengan bekerja keras, kecewa, menahan rasa,
ketakutan, marah, sedih, putus asa dan benci.
Kadar sabar yang
dimiliki seseorang berbeda-beda. Semakin besar keimanan yang dimiliki, sifat
kesabaran akan lebih besar ketika menghadapi permasalahan. Sering dijumpai
orang yang tidak mudah bersabar dalam melakukan apapun, bahkan akan sering
cenderung untuk hal terkecil sekalipun.
Allah Swt
berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, mintalah petolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al
Baqarah: 153).
Menjalankan
perintah Allah juga termasuk dalam sabar menghadapi larangan-Nya dan menjauhi
maksiat. Godaan syaitan menggerogoti iman begitu kuat, sehingga kemaksiatan
akan nampak begitu indah. Segala ibadah akan berubah nampak berat dijalankan
apabila syaitan telah menelan habis kesabaran manusia.
Allah Swt
berfirman:
“Sesungguhnya
setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal
kepada Tuhannya.” (QS. An Nahl: 99).
Tidak sedikit
orang lain yang senang dengan musibah yang sedang menimpa seseorang. Sedangkan
ketika akan dimintai pertolongan, orang lain akan menolak dengan berbagai
alasan.
Allah Swt
berfirman:
“Jika kamu
memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat
bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, niscaya
tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu.
Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (QS. Ali
‘Imran: 120).
Marilah
bercermin, apakah kita termasuk dalam golongan yang senang melihat orang lain
mendapatkan bencana?
Jika jawabannya:
Iya. Maka sungguh diri kita masih diliputi rasa dengki dan iri. Diri kita masih
menjadikan orang lain sebagai tolak ukur dalam kehidupan dunia. Sepantasnya,
orang lain menjadi sebuah motivasi untuk mendapatkan ridha yang lebih baik
dari-Nya dalam menyempurnakan keimanan.
Allah Swt
berfiman:
“Dan janganlah
kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah)
sesungguhnya apa yang ada disisi Allah, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. Apa yang disisimu akan lenyap, dan apa yang ada disisi Allah akan
kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An
Nahl: 95-96).
Sabar dan ridha
akan berjalan berdampingan. Artinya orang memiliki sabar, maka dalam dirinya
akan terdapat ridha. Orang yang ditimpa musibah, sedangkan dirinya mengetahui
bahwa musibah datangnya dari sisi Allah, maka dirinya akan ridha dan menerima
untuk berserah diri kepada-Nya.
Rasulullah Saw
bersabda:
“Ya Allah, aku
mohon ridha (dalam hatiku) sesudah keputusan-Mu, kesejukan hidup setelah
kematian, kelezatan memandang wajah-Mu dan kerinduan berjumpa dengan-Mu.”
(HR. Ahmad).
Agama berperan
besar dalam kehendak seseorang untuk bersabar. Menahan timbulnya hawa nafsu
yang menyesatkan dapat dibentengi dengan agama. Akan terjadi pertentangan
antara kehendak memenuhi hawa nafsu atau mentaati agama. Dalam hal ini terdapat
tiga golongan dan keadaan dalam menghadapi hawa nafsu dan mentaati agama,
diantara sebagai berikut:
a. Golongan siddiqin
dan muqarrabin
Keadaan golongan orang ini, hawa yang
berjaya telah ditundukan. Tidak lain berarti hawa telah kehilangan kekuatan
untuk melawan agama. Orang yang semacam ini akan mampu menghadapi berbagai
keadaan atau dinamakan al-Zafirin (orang-orang yang berjaya).
b. Golongan
al-Ghafilun
Orang yang masuk dalam golongan ini, adalah
mereka yang telah lalai. Kehendak hawa telah mengalahkan agama. Orang yang
dalam golongan ini, mengalami keadaan mengikuti kehendak syaitan untuk memenuhi
segala hawa yang menyesatkan dan merusak. Artinya, mereka adalah orang-orang
yang membeli kehidupan dunia untuk bersenang-senang dan melanggar larangan-Nya.
c. Golongan
mujahiddin
Dalam golongan ini, antara hawa dan agama
saling mengalahkan. Keduanya memiliki kekuatan pengaruh sama besar bagi
perjalanan hidup manusia. Adakalanya hawa mengalahkan agama. Dilain keadaan,
agama mampu mengalahkan hawa. Akan terjadi perguncangan dan pertentangan,
sampai manakah amalan baik mampu mengalahkan amalan buruk, atau begitu juga
sebaliknya.
Allah Swt
berfirman:
“Katakanlah:
‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertaqwalah kepada Tuhanmu’. Orang-orang yang
berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas.
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka
tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10).