Membaca
judul di atas akan langsung teringat dengan sebuah lagu dari Slank. Kali ini
bukan tentang lagu yang indah liriknya untuk didengar, tetapi tentang menyikapi
“kesalahan” yang diperbuat oleh seseorang. Kesalahan yang dimaksud bisa berarti
amarah, dendam, benci atau kecewa yang berujung kemarahan.
Kehidupan
sehari-hari yang dijalani oleh seseorang terkadang tidak semulus gelas kaca
diatas meja. Ada kesedihan ataupun kesenangan yang menyertainya, disebabkan kejadian
dalam rentetan menit demi menit. Tidak ada yang mau menanggung kesedihan,
hampir semua orang dengan tangan terbuka untuk memperoleh kebahagiaan.
Perjalanan bersosialisasi
membuat interaksi dengan sesama menimbulkan gesekan negatif dan positif. Setiap
interaksi yang mengarah ke sisi negatif mengakibatkan dampak pertentangan
diantara pihak yang terlibat.
Prasangka
jelek timbul pada diri seseorang akibat gesekan negatif dari pihak lain.
Kejadian demi kejadian yang dianggap sepele pun bisa menjadi bom waktu siap
meledak. Ibarat bom waktu adalah akumulasi kekecewaan yang dipendam,
pemantiknya adalah amarah baru yang siap dinyalakan.
Boom… Amarah
pun meledak dalam sekejap meluluhlantahkan kepercayaan, persahabatan dan
persaudaraan yang telah lama terjalin.
Lantas
bagaimana menyikapi persoalan seperti ini?
Ingatlah
perjalanan Nabi Muhammad SAW diawal-awal masa kenabian, bahwa perlakuan
penduduk Arab lebih kejam sebagai pembalasan atas dakwah yang disampaikan.
Sebagai
contoh ketika penduduk Thaif melempari Rasulullah SAW dengan batu dan kotoran
unta, apa yang dilakukan beliau justru berkebalikan dengan ego manusia, yakni
mendoakan mereka. Sudah jelas perlakuan yang diberikan oleh penduduk Thaif
memerangi dakwah, sang Nabi lebih memilih kebaikan sebagai balasan kepada
mereka yang memberikan kejahatan.
Hampir sama
pada masa kepemimpinan Utsman Bin Affan. Ketika para pemberontak yang berasal
dari kaum munafikin berpura-pura masuk Islam, mereka leluasa menebar fitnah
kebencian kepada sang khalifah.
Lantas apa
yang dilakukan oleh Khalifah Utsman Bin Affan?
Karena
Utsman merupakan sahabat nabi yang memiliki akhak paling mirip dengan
Rasulullah, tentu yang dilakukan oleh beliau adalah mencegah terjadinya
pertumpahan darah. Padahal fitnah dan hasutan yang dilakukan dari sekelompok
kecil pemberontak dirasakan seperti pukulan yang merontokan tulang dari badan.
Sungguh
fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.
Bagi Utsman
Bin Affan bukan tidak mampu memerangi mereka. Ibarat pemberontak adalah lalat,
dengan sekali tepuk pasukan muslim akan mampu memusnahkan pemberontak dalam
sekejap. Tapi Utsman selalu berpesan bahwa jagalah perdamaian dengan tidak
menumpahkan darah. Hingga akhirnya umat
di masa depan mengetahui bahwa keyakinan tersebut membawa kematian kepada
beliau.
Sungguh apa
yang dialami Rasulullah dan para sahabatnya dalam menghadapi gesekan didalam
kehidupan bermasyarakat lebih berat dibandingkan kehidupan masa sekarang.
Tauladan yang patut diikuti adalah tetap menjaga kedamaian meski
gesekan-gesekan yang timbul membebani hati terdalam.
Sesuai
dengan firman Allah SWT dalam QS. An Nisa: 99.
“Dan
Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”.
Pencipta
kehidupan beserta isi di dalamnya memiliki sifat Maha Pemaaf dan Maha
Pengampun, lantas sewajarnya manusia yang notabene ciptaan-Nya juga memiliki sifat-sifat
tersebut.
Gesekan-gesekan
kecil dari sisi negatif bisa dianggap sebagai warna kehidupan manusia. Warna
warni bisa dinikmati tergantung bagaimana seseorang menyikapinya. Akan lebih
nikmat bagi tiap orang, bahwa gesekan negatif yang timbul bisa diperlakukan
“Kosong sama Kosong”. Artinya memaafkan dan melupakan perselisihan yang telah
terjadi.
Kembali
mengutip Slank, -PLUR- (Piss, Love, Unity n Respect).
Hormati
sesama, hargai sesama dan lupakanlah kesalahan orang lain selagi perbuatan
tersebut tidak melanggar hukum negara maupun syar’i.