True Story
Yanuar
Ibrahim Wicaksana Santosa atau sering dipanggil Pak Guru Yan pengajar di
Madrasah pinggiran kota. Kehidupan yang sederhana memiliki kesamaan dengan
Madrasah tempat dia mengajar. Kendaraan roda dua keluaran tahun 70-an setia
mengantar guru muda tersebut membagikan ilmunya.
Sebagai
pemuda yang alim, tergerak dari dalam hati untuk mengajar. Hal ini didasari
melihat pendidikan sekarang yang syarat akan uang. Biaya masuk yang tinggi
membuat beberapa anak didik harus terpinggirkan menjadi tenaga kerja di bawah
umur.
“Aku
mengajar semata-mata bukan untuk mencari uang, ridho Allah jauh lebih penting.”
Kata guru muda berumur 28 tahun tersebut.
Memang
mengajar di Madrasah belum memiliki sistem gaji yang jelas. Terkadang, potongan
gaji mengajar dilakukan. Hal ini sering terjadi karena dana yang ada harus bisa mencukupi honor semua guru.
“Sabar
Cak, semua ada waktunya.” Nasehat seorang sahabat kepada Pak Guru Yan.
Musim
hujan sudah berganti. Andai dulu musim hujan di bulan Januari, saat ini sudah
tidak berlaku. “Mungkin karena kerusakan alam”, begitulah yang ada dipikiran
Pak Guru Yan.
Pertengahan
bulan Februari, di pagi hari yang mendung, Pak Guru Yan membuka lembar demi
lembar buku motivasi yang ada di hadapannya. Hari ini adalah hari libur bagi
Pak Guru Yan. Beberapa kelas diliburkan untuk mempersiapkan Ujian akhir. Jadi
waktu luang digunakan untuk membaca dan memperbanyak wawasan.
Berbeda
dengan biasanya, hari ini kebiasan Pak Guru Yan membaca dirasa tidak fokus. Apa
yang dia baca tidak dapat masuk di otak untuk dipahami dan disimpan.
Bayang-bayang Rosa selalu muncul dipikirannya.
Rosa
adalah perempuan yang akan dinikahi Pak Guru Yan dua bulan mendatang. Hari-hari
menjelang pernikahan membuat kepala dipenuhi banyak pikiran, dimulai dari
persiapan pernikahan hingga pekerjaan.
Hand phone nokia low end tiba-tiba berdering, satu pesan
muncul dilayar. “Tumben Rosa sms jam segini.” Kata Pak Guru Yan.
Disaat jam
kerja, Rosa memang jarang mengirim pesan andai tidak ada hal yang penting.
Keraguan muncul dibenak Pak Guru Yan untuk membuka pesan. Jantung tiba-tiba
berdebar kencang, keringat dingin muncul dipunggung dan kepala. Ibu jari kanan
terasa berat untuk memencet keypad.
Selama
beberapa detik suasana masih sama, dengan mengucap “bismillah” Pak Guru
Yan berharap tidak ada kabar mengecewakan dari Rosa.
Nama
Muhammad Romadhon muncul dilayar hand phone,
beliau Kepala Madrasah tempat Pak Guru Yan mengajar. “Tumben, mungkin aku
akan dilibatkan dalam persiapan panitia ujian.” Kata Pak Guru Yan dalam hati
mencoba menebak isi pesan.
“Yes, ada
tambahan dana buat nikah.” Girang Pak Guru Yanuar.
Menikah
memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Meskipun acara pernikahan yang
akan dilakukan sederhana, tetapi kebutuhan sesudah menikah menjadi bertambah
banyak. Tambahan penghasilan dan gaji adalah dua hal yang diharapkan Pak Guru
Yan saat ini.
Deg, seolah-olah jantung dan paru-paru berhenti setelah
membaca isi pesan dari Pak Romadhon. “Dik, mohon maaf, mulai minggu ini Pak
Yan tidak perlu datang ke Madrasah. Untuk sementara kami tidak memerlukan guru
tambahan, dikarenakan dana yang ada tidak mencukupi untuk jumlah guru yang
tersedia. Dengan berat hati, kami akan memaksimalkan guru senior. Harap maklum.
Salam-Muhammad Romadhon”
* * *
Ketika
Rosa mengetuk pintu, berulang kali tidak ada jawaban, rasa khawatir semakin
menjadi. Sejak tiga hari yang lalu, saat Mas Yan mengabarkan dirinya tidak
mengajar lagi, sampai saat ini tidak bisa dihubungi. Dengan ijin yang diberikan
oleh atasan, Rosa mendatangi rumah Mas Yan.
Setelah
sekian lama pintu diketuk tidak ada jawaban, Rosa mengintari rumah untuk menuju
pintu belakang rumah. Hubungan yang lama sudah terjalin, menjadikan Rosa
mengetahui kebiasan keluarga Mas Yanuar. Pintu belakang yang menghadap sawah,
tidak pernah dikunci kala siang hari.
Melalui
pintu belakang, Rosa memberanikan diri untuk masuk. Sesaat Rosa masuk rumah
melewati pintu belakang, ruangan yang pertama ditemuinya adalah dapur. Ternyata
laki-laki yang akan menjadi suaminya sedang melamun.
“Sudah
mas, masih ada jalan lain.” Kata Rosa.
“Gimana
tidak sedih dik, bentar lagi kita married, tapi Madrasah malah memecat
mas.” Kata Mas Yan disertai air mata keluar membasahi pipinya.
“Aku
nganggur dik!!! Mau makan apa kita besok?? Sekarang aja, mas tak cukup uang
buat memenuhi kebutuhan mas.” Kata Mas Yan.
“Cincin
kawin buat ijab dijual dulu saja tak apa mas” tegas kata Rosa. “Bukankah
Rasulullah SAW bersabda: sebaik-baiknya wanita yang mudah maharnya, iya kan mas?”
Setelah
Mas Yan dirasa sudah tenang, Rosa pamit untuk kembali ke kantor. “Shalat trus
berangkat ke toko emas saja, Insya Allah ada jalan.” Kata Rosa sebelum menutup
pintu.
Dua jam
kemudian…
“Dik,
cincin sudah laku. Kalau sudah dapat kerja, besok mas ganti yang lebih bagus.”
kata Mas Yan. Sesudah dari Toko Emas, Mas Yan menyempatkan mampir ke kantor
Rosa.
“Tak apa,
mas. Kalau Mas Yan mau, disedekahkan saja uang hasil jual cincinnya.” Kata
Rosa.
“Allah
Maha Kaya, Allah lebih tahu yang terbaik buat Mas Yan.” Lanjut kata Rosa
meyakinkan.
“Yakin
dik?” tanya Mas Yan.
“Yakin
mas, adik ikhlas.” Jawab Rosa.
* * *
Sebagai
guru madrasah, Pak Guru Yan tentu memiliki banyak kenalan pengurus pesantren.
Mengendarai motor tuanya, Pak Guru Yan memacu dengan cepat menuju pesantren
hafalan Al-Qur’an buat anak yatim. Menurut dia, pesantren tersebut sedang
membutuhkan banyak biaya.
“Assalamu’alaikum,
Pak Ustad.” Kata Pak Guru Yan, di depan pintu rumah.
“Wa’alaikumsalam.”
Jawab Pak Ustad dengan gembira mengetahui siapa yang datang.
Setelah panjang
lebar berbagi kabar dan wawasan, Pak Guru Yan menceritakan niat kedatangannya
ke pesantren tersebut.
“Alhamdulillah,
semoga Allah melipatgandakan kebaikan Pak Yanuar.” Kata Pak Ustad, setelah Pak
Guru Yan menyerahkan uang hasil penjualan cincin kawin.
“Aamiin”
jawab Pak Guru Yan.
Sekitar
lima menit, Pak Guru Yan bercerita tentang peristiwa tiga hari yang lalu, yang
membuat dirinya sekarang memiliki status baru ‘pengangguran’. Pak Ustad pun
merasa iba mengetahui keadaan yang terjadi, hari pernikahan yang semakin dekat
tentu menjadi beban pikiran.
Tiba-tiba hand phone-nya
berdering, sebuah pesan masuk dibaca oleh Pak Guru Yan.
“Alhamdulillah…..”
Kata Pak Guru Yan.
Pak Ustad
masih merasa bingung dengan perubahan cepat pada raut muka Pak Guru Yan.
“Dimohon
kesediaannya untuk mengajar di sekolah….” Isi pesan yang ditunjukan pak Guru
Yan kepada Pak Ustad. Akhirnya, Pak Ustad memahami, bahwa Pak Guru Yan dtawari
mengajar di Sekolah Islam Swasta terbesar di kota ini. Sungguh Allah Maha
Besar.
“Alhamdulillah,
mas. Alhamdulillah.” Kata Rosa di ujung telepon, saat Pak Guru Yan menceritakan
kabar gembira tersebut.
“Iya,
Alhamdulillah dik. Kebesaran Allah tidak ada yang mampu menandingi. Semua ini
berkat saran dik Rosa. Ternyata mas gak salah milih calon istri…
Alhamdulillah.” Kata Pak Guru Yan.