“Aku
tidak pernah melihat Rasulullah SAW tertawa keras hingga kelihatan
langit-langit mulutnya, akan tetapi beliau hanya tersenyum.” (Muttafaq alaih)
Tertawa salah
satu cara menghilangkan stres yang dialami seseorang. Bercanda membuat
seseorang menjadi tertawa, lupa terhadap masalah, penat dan kesedihan yang
sedang dialami. Rasa lelah setelah
beraktifitas seketika berkurang saat bercanda dengan keluarga, teman maupun
anak kecil yang kita temui dijalan.
Bercanda juga
bisa menjadi masalah apabila seseorang tidak dapat menempatkan dirinya dengan
benar. Orang yang terlalu banyak bercanda juga dianggap sebagai orang yang
tidak serius, bahkan tidak dipercaya orang lain untuk menjalankan amanah.
Lantas
bagaimanakah bercanda yang tepat? Dari Abu Hurairah r.a beliau berkata:
“Mereka (para
sahabat) berkata kepada beliau, wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau bercanda
dengan kami. Beliau berkata: ya, akan tetapi aku tidak berbicara kecuali yang
benar.” (HR. Ahmad).
Rasulullah
sendiri mengajarkan bahwa beliau tidak akan mengucapkan perkataan yang tidak
benar, meskipun itu dalam bercanda. Di kehidupan sehari-hari, kita sering
bercanda yang kemudian lupa akan kebenaran apa yang diucapkan. Kata-kata yang
dikeluarkan untuk memancing tawa dari orang lain.
Nah, kata-kata
yang keluar tidak mengandung kebenaran, tidak boleh diucapkan sekalipun dalam
bercanda. Terkadang kata yang keluar bisa melukai orang lain, walaupun kata
yang diucapkan tidak memiliki niat menyakiti orang lain.
Terkadang
beberapa acara dilayar televisi sering menampilkan candaan dari kekurangan
fisik salah satu pengisi acara yang terlibat. Bahkan ada juga yang sengaja
mengundang penonton di studio untuk naik ke atas panggung hanya untuk dihina
kekurangannya. Tawa penonton memang pecah, pembawa acara sukses menghibur
penonton. Lantas bagaimana perasaan orang yang dijadikan bahan candaan?
Meskipun yang
diucapkan pembawa acara suatu kebenaran, tetapi candaan yang dilakukan dengan
bahan kekurangan fisik orang bisa melukai hati orang yang bersangkutan. Hal ini
juga tidak bisa dibenarkan, seperti pesan Rasulullah SAW untuk menjaga lisan
kita agar selamat di dunia maupun akhirat.
Perhatikanlah
berikut ini, diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a berkata:
“Ada seorang
badui yang bernama Zahir bin Haram, dan Nabi Muhammad SAW suka kepadanya, ia
berwajah buruk, suatu hari Rasulullah SAW datang dan mendapatinya sedang menjual
barang, lalu Nabi Muhammad SAW memeluknya dari belakang, dan ia tidak
melihatnya, maka ia berkata: lepaskan!, siapa ini? Lalu ia menoleh, maka ia
tahu bahwa yang memeluknya adalah Nabi Muhammad SAW, setelah ia tah,maka ia
tetap menempelkan punggungnya ke dada Nabi Muhammad SAW, lalu Nabi Muhammad SAW
berkata: “siapa yang ingin membeli budak?’ Zahir berkata: wahai Rasulullah,
saya tidak akan laku, maka Nabi Muhammad SAW berkata: akan tetapi engkau di
sisi Allah mahal.” (HR. Ahmad).
Sudah sangat
jelas, bahwa apa yang kita lihat secara fisik belum tentu mulia dimata Allah
SWT. Orang yang dicemooh sebagai bahan candaan belum tentu hina dibandingkan
yang menghinanya. Bisa jadi orang yang bercanda dengan menghina orang lain
lebih rendah dimata Allah SWT, meskipun secara fisik orang tersebut nampak lebih baik.
Makasih ya atas informasinya ...
ReplyDelete