Dewasa ini kita sering
meliat berita di televisi menayangkan para elit politik berdebat. Bahkan ajang
debat sering disiarkan secara live. Pihak satu dengan pihak yang lain
saling beradu argumen, (mungkin) masing-masing merasa paling benar. Tak jarang,
kalimat yang keluar merupakan kata-kata yang tak pantas dari seorang pemimpin.
Terlebih tayangan tersebut ditonton oleh berjuta pasang mata.
Setiap pihak akan
membuat pembenaran terkait apa yang telah dipertentangkan. Di sisi lain akan
menyerang dengan tuduhan yang belum tentu kebenarannya. Kebenaran yang
semestinya diketahui publik menjadi absurd untuk diungkap.
Allah SWT
berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada
kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaff: 2-3).
Jabatan dan harta
mampu merubah watak seseorang. Ketika awal merintis karir, seseorang masih
memegang aturan, norma, sopan santun dan hukum agama sebagai tatacara
berperilaku yang baik. Penilaian yang baik ini akan membuat seseorang memiliki
prestasi dan cepat menuju puncak karir. Akan tetapi ketika seseorang sudah
mencapai puncak karir (jabatan) akan membuat orang lupa diri. Merasa berkuasa
dan paling benar segala tindakan maupun ucapannya.
Jabatan adalah
bagian dari ujian, karena jabatan memiliki kekuasaan yang satu paket dengan
harta. Tak sedikit pejabat yang terkena
kasus korupsi. Semua berawal dari jabatan dan kekuasaan. Orang yang memiliki
kekuasaan akan tergoda meraup harta yang semestinya bukan menjadi haknya. Jabatan
membuat orang menjadi lupa diri, lupa dengan hukum agama maupun negara.
Sindrom pemimpin,
seperti yang sudah disebutkan diatas adalah merasa paling benar. Berkat
kekuasaan yang dimiliki membuat apa yang dilakukan adalah kewajaran. Jabatan
bukan lagi menjadi suatu amanah, namun menjadi alat atau sarana untuk menguasai
sesuatu.
Jika seseorang yang
memiliki jabatan (kekuasaan) tidak mampu menahan godaan syaitan maka akan
membuat dirinya menjadi lupa diri.
Allah SWT
berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hekdaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu
Allah menjadikan mereka lupa kepada dirinya sendiri. Mereka itulah orang-orang
yang fasik.” (QS. Al Hasyr: 18-19).
Berdasarkan ayat
diatas dapat diketahui dampak bagi orang yang lupa diri.
(a) Allah akan
melupakannya
Ketika Allah SWT sudah melupakan seseorang,
tamatlah riwayat orang tersebut. Jika Allah SWT melupakan seseorang, maka Dia
akan mengabaikan, menelantarkan dan membiarkannya. Kepada siapa lagi kita akan
memohon atau meminta perlindungan selain kepada-Nya?
(b) Menjadi orang
fasik
Orang yang lupa diri akan berbuat semaunya.
Tindakan melampaui batas mendekatkan orang tersebut kepada kehancuran. Tindakan
yang semena-mena akan membuat orang lain tidak suka dan cenderung memusuhi. Apa
yang terjadi ketika hidup di dunia tetapi memiliki banyak musuh? Orang fasik
akan rugi di dunia juga akhirat.
Selagi masih ada waktu, jadikanlah amanah,
jabatan, popularitas dan kekuasaan sebagai alat untuk meraih kehidupan sejati,
yakni kehidupan yang di ridhai Allah SWT, baik di dunia maupun akhirat. Setiap
orang perlu kembali bercermin, melihat apa yang telah dia perbuat sampai taraf
kehidupan sekarang. Apakah kehidupan saat ini telah membawa ke dalam kebaikan
atau justru telah menyesatkan dalam kemaksiatan.
Bukan hanya publik figur saja yang bisa
menjadi lupa diri, manusia “biasa” seperti kita pun juga bisa menjadi lupa
diri. Pada dasarnya, syaitan akan menggoda semua umat manusia tanpa tebang
pilih. Sepantasnya kita selalu mengingat Allah ,mendekatkan diri kepada Allah,
serta selalu meminta ampunan atas segala tindakan yang dilakukan. Boleh jadi
apa yang kita lakukan sudah merasa benar, namun bagi orang lain bisa
beranggapan bahwa apa yang kita lakukan sudah melampui batas atau lupa diri.
0 comments:
Post a Comment