Stabilitas yang tak bisa kita
temukan di dunia ini haruslah kita ciptakan dalam diri kita sendiri – Nathaniel Branden
Sering kali seseorang
mendapatkan keberuntungan, pulung, bejo atau hoki. Namun ada kalanya seorang
mengalami kesialan bertubi-tubi. Hampir semua orang tidak akan ada yang mau
mendapatkan kesialan, kebetuntunganlah yang dinantikan. Sifat dasar manusia
adalah tidak mau bersusah payah. Bahkan hal ini menjadi peluang, munculnya para
calo dibeberapa tempat pengurusan surat maupun perijinan. Andai kata mayoritas
orang tidak mau bersusah payah, siapa yang untung?
Hanya orang yang sadar bahwa
kesusahan adalah peluang.
Dalam kehidupan bermasyarakat
sering kita jumpai fenomena “keberuntungan”, mendapatkan hadiah, menemukan
harta karun, lulus tanpa tes atau bahkan menang lotere. Ambil contoh Sri
adalah salah satu pedagang besar di kota-x yang memiliki karyawan banyak.
Selain berdagang Sri juga mengembangkan bisnisnya dibidang peternakan dan
perikanan. Semua kegiatan bisnis yang dijalankan berkembang dengan pesat.
Keuntungan berupa materi sudah berpihak terhadapnya. Belum lagi mendapatkan
hadiah dari undian Bank ataupun hadiah dari showroom mobil dimana dulu dia pernah membeli. Orang lain maka berkata
“keberuntungan berpihak terhadap orang kaya”.
Bandingkan dengan contoh lain, Agus adalah pemuda yang terbilang maju di
kampungnya. Pendidikan yang didapatkan diperguruan tinggi menjadikan dia salah
satu tokoh pemuda yang dihormati. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya
usia, lapangan pekerjaan mulai sempit, dan persaingan mendapatkan salah satu
profesi kian hari menipis. Segala usaha yang dikembangkan sembari menunggu
panggilan kerja tidak berjalan dengan lancar. Perusahaan yang bersedia menerima
dirinya bekerja mewajibkan menyetor uang sekian juta, sedangkan harta benda
milik orang tua sudah habis untuk biaya kuliah. Tentu peluang bekerja dengan
profesi yang diinginkan sirna seiring pelamar kerja yang lain bersedia membayar
uang yang di minta.
Hampir tiap tahun menjelang
ujian nasional banyak siswa maupun siswi berubah menjadi orang alim. Rajin
mengujungi tempat ibadah, merenungi segala kesalahan dan berdoa dengan penuh
keyakinan agar mendapatkan keberuntungan, yakni lulus ujian nasional. Sebagian
siswa akan berharap menjadi orang bejo.
Di televisi sering menampilkan
iklan dengan slogan “orang pintar kalah dengan orang bejo”. Apakah demikian? Mungkin sebagian kejadian ada yang
memposisikan orang bejo sebagai pemenang dibandingkan orang pintar. Ada sebuah
kejadian dimana dua murid di SMA Swasta di kota-x bernama Taufik dan Fifi yang
merupakan murid teladan. Prestasi dari kelas satu sampai kelas tiga ditunjukan
dengan rangking kelas tidak lebih dari angka tiga. Peringkat satulah yang
sering didapatkan, diikuti nilai mata pelajaran rata-rata delapan. Namun ketika
pengumuman ujian nasional diberikan sontak semua teman, guru dan orang tua
terkejut. Kedua siswa yang semenjak awal menjadi teladan dengan prestasi yang
gemilang dinyatakan tidak lulus. Tidak beruntungkah kedua siswa ini?
Seiring dengan berjalannya waktu apakah
keberuntungan melekat pada diri seseorang? Tentu saja semua orang akan
percaya bahwa peruntungan akan datang dan pergi. Keberuntungan juga bisa
dikatakan sebagai sebuah peluang. Saat seseorang mendapatkan keberuntungan,
maka dirinya akan mendapatkan sesuatu yang lebih atau yang tidak didapatkan
orang lain.
Sebagian orang akan berkata “peluang tidak akan datang dua kali”.
Akankah kita akan bergantung terhadap bejo untuk memperoleh peluang?
Masihkah ada waktu untuk
menunggu keberuntungan?
Jangan sampai dengan kita
menunggu ternyata peluang sudah menjadi milik orang lain.
Firman Alloh SWT:
“…Sesungguhnya Alloh tidak
akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaannya. Dan apabila
Alloh menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (QS.
Ar Raad: 11).
Dari ayat di atas kita
mengetahui bahwa keadaan seseorang tidak akan berubah selama manusia itu tidak
memiliki niat dan tindakan untuk berubah. Berdoa sepanjang hari, mendatangi
tempat suci dan melakukan laku “prihatin”, demi mengharapkan keberuntungan
merupakan tindakan yang kurang lengkap tanpa kerja keras.
Andai kata semua orang akan
mengharap menjadi beruntung tanpa adanya kerja keras maupun keilmuwan, apa yang
akan terjadi di Negara ini? Ketika orang pintar tidak beruntung mendapatkan
posisi dan jabatan, sedangkan jabatan diisi oleh orang yang hanya bejo tanpa ada kepintaran, kemampuan dan wawasan. Maka segala keputusan
yang di ambil berdampak kepada ketidakpuasan dan kesesuaian.
Beberapa orang menggunakan dan
mempercayai benda-benda yang mendatangkan keberuntungan. Orang jawa akan
percaya dengan batu akik, keris maupun benda yang dipercaya memiliki kekuatan.
Di televisi sering kita saksikan dalam pertandingan sepakbola, ada beberapa
pemain yang melakukan ritual khusus, memakai jimat bahkan menggunakan sepatu
yang berbeda. Dengan harapan akan memperoleh keberuntungan dan memenangkan
pertandingan.
Bagaimanakah seharusnya orang
yang beruntung?
Orang yang beruntung haruslah
mereka yang mendapatkan keberuntungan atas kerja keras, kemauan dan tekat
sendiri untuk memberi manfaat baik bagi dirinya maupun orang lain.
Keberuntungan yang di dapatkan berasal dari hasil tindakan yang dilakukan
dengan cara yang tepat, tidak merugikan orang lain baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Firman Alloh SWT:
“…Mereka itulah orang-orang
yang Aloh telah tanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka
dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Alloh
ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)
–Nya. Mereka itulah golongan Alloh. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan
Alloh itulah golongan yang beruntung”. (QS. Al-Mujaadilah: 22).
Keberuntungan yang diharapkan
adalah hasil atau timbal balik dari segala yang kita upayakan dalam kebenaran
dengan niat yang tulus ikhlas semata-mata karena mengharap ridha Alloh.
Tindakan yang dilakukan manusia di dunia akan memiliki konsekuensi atau dampak,
baik di akhirat maupun di kehidupan dunia itu sendiri. Namun ketika
keberuntungan merupakan hasil dari apa yang kita upayakan akan memberikan suatu
rasa kepuasan. Tenaga, pikiran dan jerih payah yang kita keluarkan terbayar
tuntas dengan keberuntungan yang didapatkan.
Apalagi keberuntungan di
akhiratlah yang sangat diharapkan, karena kehidupan akhirat merupakan kehidupan
yang kekal. Hasil berupa “keuntungan” atas tindakan di dunia akan di balas
berlipat kali. Amat beruntung apabila seorang anak manusia mendapatkan balasan
surga dan kekal didalamnya. Sungguh orang-orang beriman akan ditempatkan dalam
tempat yang tinggi bersama orang-orang beruntung lainnya.
Masihkah mengharapkan keberuntungan
yang belum pasti kedatangannya? Bekerja keraslah dengan niat yang tulus maka keuntunganlah yang akan kamu dapatkan dari segala upayamu di duna ini.
0 comments:
Post a Comment