Hujan masih membasahi Solo
Menenggelamkan mentari setengah hari
Dahan ranting tumbang di lapang
Aku masih duduk di tangga
Gadis muda melewatkan badai
Melintaskan berpayungkan almamater
Esok hari mentari segera terbit
Membawa panas yang baru
Kawan datang dan pergi
Mengejar mimpi, mengejar diri
Manusia datang menghampiri
Berharap malam mau mengakhiri
Segeralah manusia bersorak
Mengiringi kepergian
Saat dirimu kembali
Hujan telah berhenti
Tahun
ke dua sebagai asisten dosen semua masih sama, belum banyak perubahan. Semua
dikendalikan dengan sistem, hidup berjalan sudah terjadwal. Kadang melelahkan,
tapi terkadang menyenangkan. Sedih dan senang datang silih berganti.
Di
bulan kesebelas, dihari terakhir, hujan masih membasahi Solo. Sepanjang hari
hujan tidak mereda, menjauhkan hangat mentari. Seperti biasa jadwal mengajar
sebagai asisten dosen selalu diberikan jam terakhir, atau jam ke-empat. Artinya
perkuliahan akan selesai sore hari.
Perkenalkan,
namaku Debi. Aku bekerja di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Solo.
Perguruan tinggi ini yang memberikan gelas sarjana. Sejak mendapatkan gelar
sarjana dua tahun lalu itu, aku diminta dosen pembimbing untuk menjadi asisten
dosen.
Kehidupanku
sejak awal kuliah sampai saat ini tidak banyak berubah. Hidup yang dijalani
sudah terjadwal dengan baik. Sebagai karyawan tidak tetap aku tinggal
menjalankan sistem yang sudah berjalan.
Setelah
kelas berakhir sore ini, aku belum bisa meninggalkan kampus. Hujan sepanjang
hari mengurungkan niat untuk beranjak dari tempat duduk. Jarak kampus dengan
tempat kos, akan membuat tubuhku basah kuyup, apabila aku paksakan segera
pulang. Sudah setengah jam menatap air hujan yang terus diturunkan oleh Sang
Pencipta.
Suasana
seperti ini sering memutar kembali memori yang sudah berlalu. Merasakan kembali
rasa yang pernah dirasakan tempo dulu. Masih sama, belum banyak berubah.
Getaran dan pikiran mencoba melupakan, tapi sulit, semua mengalir begitu saja.
“Dejavu…”
kataku pelan.
Ujung
pandangan serasa menjauh, semakin mengecil, terdengar suara riuh mahasiswa,
tawa, canda dan jerit. Bagai film dokumenter, semua muncul begitu saja.
Kejadian semasa kuliah terulang kembali, dalam pandangan yang absurd saat ini
terjadi. Diujung bangku depan kelas, seorang mahawiswa berkaca mata, serius
membaca buku yang dia pegang.
Dalam
kesendirian dan petang yang mulai datang, seolah menguatkan bahwa film ini tak
akan berakhir. Segera kututup mata, diam beberapa saat. Tapi suara terdengar
makin keras, tawa, canda, obrolan, semua menjadi satu. Begitu memekik telinga,
kedua telapak tangan menutup rapat lubang pendengaran.
“Duaarrrrrrrr………..”
petir menyambar diikuti gemuruh sesudahnya.
Jantung
berdebar-debar, memacu lebih kencang dari waktu sebelumnya. Rasa kaget
menghapuskan pandangan masa lalu. Seperti layar proyektor yang meredup sinarnya
pelan-pelan setalah dimatikan. Semua kembali normal, Aku dapat memandang
sekitar dengan wajar.
Seorang
mahasiswi berjalan menyeberangi kubangan air. Jalan depan gedung fakultas
ekonomi, sudah rusak sekian bulan ini. Almamater sebagai penutup kepala,
menggantikan payung yang ia lupa bawa.
Tiga
setengah tahun dikampus ini, akan membawa raihan prestasi cemerlang. Ia
mahasiswi berprestasi, memenangkan berbagai kompetisi. Baik tingkat lokal
provinsi maupun nasional. Lulus dengan predikat caumlaude akan segera ia
dapatkan.
Banyak
sekali cowok yang mencoba mendekati, tapi ia belum mau membuka hati. Dari tipe
alim, keren, lugu, borjuis bahkan sampai tipe play boy pun banyak
yang mencoba mendekati. Semua berakhir sama, nasibnya terbuang di tong sampah.
Sebagai
asisten dosen, tentu aku mengenalnya. Semester kemarin, ia pernah mengikuti
kelasku, kelas statistik II. Tampak beda dengan mahasiswa lain, perbedaan itu
terlihat dari kecerdasan yang ia miliki. Mahasiswi berzodiak libra ini, bukan
hanya aktif dikelas, tapi juga aktif dikegiatan diluar kampus.
Berawal
dari perkenalan dikelas, membuat kedekatan kami terus terjalin. Diskusi
berjalan dikelas, dikantin dan berlanjut di alat komunikasi modern. Pertanyaan
yang ia lontarkan tak jarang membuat diriku berfikir keras untuk menemukan
jawaban. Seolah-olah, ia mengerjaiku dengan pengetahuannya.
Pertemanan
berlangsung berbulan-bulan, membuat orang lain berfikir kami bersahabat. Orang
lain akan melihat kemana-mana kami berjaan berdua. Sampai suatu ketika,
perasaan dalam dada terasa aneh. Rasa yang kumiliki bukan sebagai kasih sayang
sahabat, tapi aku jatuh cinta terhadap dirinya.
Semakin
aku pendam, semakin berat beban yang ditanggung. Intensitas pertemuan kami
berjalan semakin sering. Menjelang kelulusannya, ia sering mendiskusikan
rencana setelah menjadi sarjana dalam waktu dekat. Bahkan berbagai nasihat
belum banyak aku temukan. Usia muda belum menjadikan aku manusia bijak penuh
pemahaman.
Hingga
akhirnya, peristiwa kemarin sore merubah segalanya. Saat ia meminta untuk
bertemu, mendiskusikan rencana studi lanjutnya ke luar negeri. Disela-sela
percakapan yang berlangsung, aku mememndam perasaan yang teramat perih. Menahan
rasa cinta yang tersembunyi.
Mulut
tak mampu menahan, mengucapkan rasa cinta. Ia nampak senang, rona pipi dan
senyum bibir tipis menyambut ucapan dua detik yang lalu. Tangannya meraih
tanganku, ia menanggapi dengan genggaman tangan.
“Tenang
mbak, meski kuliah diluar negeri, aku tak akan melupakan persahabatan kita.
Banyak kan media sosial yang dapat kita gunakan berkomunikasi” jawaban yang diberikan.
“Kalau
bener-bener kangen, nanti aku kirim hadiah dari Amsterdam.” Lanjut ia
meyakinkan bahwa persahabatan yang terjalin, tidak dengan mudah terhenti karena
jarak.
Lantas
aku berkata “rasa cinta yang aku miliki, bukan rasa cinta sebagai sahabat, tapi
sebagai seorang kekasih.”
Spontan
ia berkata “mbak ini lucu, masak jeruk minum jeruk, hahahaha.”
Ia
masih menganggap perkataanku sebagai gurauan, pemecah rasa sedih menjelang
kepergiannya mencari ilmu di Amsterdam. Dengan penuh keseriusan, aku meyakinkan
bahwa perasaanku benar-benar nyata. Bukan seperti gurauan yang ia maksud.
Ia
diam menatap tajam, memandang dalam-dalam, pelan-pelan mata berubah, meneteskan
air membasahi pipi. Seakan tak kuasa mendengar isi hati yang aku ungkapkan.
Secepat kilat, ia mengambil tas yang sedari tadi diatas meja, menumpahkan lemon
tea dalam gelas bening. Bergegas pergi dari kursi merah yang masih
membentuk lekuk tubuhnya.
Berulang
kali aku hubungi, tapi ia tak pernah menjawab teleponku. Berpuluh-puluh pesan
aku kirim, tak satupun ia membalas.
Rasa
sesal begitu menyesakan dada, melebihi rasa sesak cinta selama ini. Permintaan
maaf seakan sudah sia-sia, mengakhiri persahabatan yang sudah terjalin.
Hujan
tak kunjung berhenti, aku masih disini, dikampus dalam remang petang merenungi
segala penyesalan. Berharap segalanya segera berakhir, berhenti disini, tak
jauh dari sini. Karena semua berawal dari sini.
bikin cerita yang happy ending dong pak :D
ReplyDelete