Sebagai
buruh tani, masa tanam dan panen merupakan waktu yang paling di nanti. Tenaga
para buruh tani digunakan pada periode tersebut. Ketika tenaga tidak dibutuhkan
diladang, mereka akan mengisi waktu dengan membuat kerajinan dari bambu,
seperti yang sekarang aku lakukan. Hasilnya, mulai ceting, eblek, tenggok
sampai kepang untuk menjemur padi.
Lahan
pertanian di desa hanya dimiliki oleh kalangan tertentu. Mereka disebut tuan
tanah ataupun pejabat kelurahan. Pejabat desa hanya menjadi antek untuk
melaksanakan kehendak tuan tanah merebut tanah dari pemilik yang lain. Banyak
yang dulu memiliki satu sampai tiga petak tanah, sekarang menjadi kawan
diladang sebagai buruh tani.
Hal
terpenting yang dilakukan sebagai buruh tani adalah menjaga fisik tetap sehat.
Hanya tenaga yang dibutuhkan dalam pekerjaan ini, sedangkan otak sudah
diprogram untuk menuruti keinginan mandor dan pemilik tanah. Tidak jarang
beberapa kawan harus pulang dengan luka diwajah maupun di anggota tubuh yang
lain ketika pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan target.
Kawan buruh tidak bisa melawan, perlawanan hanya akan menghilangkan sumber
kehidupan bagi keluarga.
Bagi
buruh tani, siang tengah hari menjadi waktu yang ditunggu. Tubuh bisa
disandarkan sejenak di bawah pohon beringin. Sembari memegang lintingan
tembakau kualitas rendah, menghembuskan asap putih pekat. Rasa lelah seperti
ikut terbang bersama asal lintingan, dihembuskan setiap setengah menit. Bekal
yang dibawa tidak banyak, singkong rebus sudah menjadi makanan istimewa. Saat
seperti ini obrolan para buruh tani banyak dilakukan. Andai obrolan terjadi
saat mengerjakan lahan, dapat dipastikan batu sebesar kepalan tangan akan
mendarat ke sumber suara.
“Lek..lek
Marjan..” bisik Parjo tiga meter disisi kanan.
Suara
panggilan tidak aku hiraukan, rasa kantuk mengalahkan segalanya sehingga aku
lebih memilih untuk memejamkan mata. Sampai sebutir kerikil dilempar mengenai
dahi.
“Aduh..!!”
Kataku.
Dengan
berbisik, Parjo kembali menanyakan pertanyaan yang sama. Mungkin sudah puluhan
kali ajakan darinya. Tak pernah aku pedulikan, sampai akhir-akhir ini sempat
mengganggu pikiran. Sisi hati yang lain, mendorong mengikuti ajakan Parjo.
“Piye….??”
Kataku sambil menguap panjang.
Dari
penjelasan berbisik itu diketahui bahwa malam nanti akan ada pertemuan pengurus
Barisan Tani Indonesia (BTI) dengan anggotanya di desa ini. Desa yang sudah aku
tempati sejak lahir sampai sekarang memiliki dua anak. Si Sulung tak jarang aku
ajak ke ladang saat panen tiba. Usia satu setengah windu sudah mampu untuk
memikul hasil panen ke rumah den Karso, sang tuan tanah.
Sebagai
anak pertama, Muji selalu menuruti apa yang aku minta. Mengerjakan beberapa hal
sekedar untuk meringankan beban keluarga. Berbeda dengan Duhlah, adik kandung
peninggalan orang tuaku. Meski usianya dua kali lebih tua dari Muji, dia tidak
pernah mau membantu bekerja.
Kala
siang, Duhlah menghabiskan waktunya di atas dipan. Saat muadzin berkumandang
adzan subuh, dia baru akan memasuki rumah. Kabar yang aku dengar, saudaraku
yang keras kepala ini mempelajari ilmu kanuragan bersama Mbah Jiwo, tokoh yang
sangat disegani di desa ini yang dipercaya memiliki ilmu kebal.
* *
* * * * * * * * * * * * * * * * *
Ahli
ibadah pulang dari Masjid menjalankan shalat Isya’ sebagai tanda waktu
berangkat menghadiri pertemuan BTI. Dikhawatirkan terjadi singgungan antara
alim ulama dengan anggota BTI saat bertemu di jalan. BTI merupakan afiliasi
dari Partai Komunis Indonesia. Oleh karena itu, di tentukan waktu pertemuan
adalah ba’da isya’ saat ahli ibadah sudah masuk rumah.
Dengan
wajah gembira, Parjo merangkul pundakku dan berkata “Tenang Lek, tak
lama lagi nasib kita akan berubah”.
Pengesahan
Undang-Undang Pokok Agraria oleh Pemerintah memicu semangat buruh tani untuk
bergabung dengan BTI. Sebelum ketentuan ini berlaku, kader-kader PKI sudah
mengawal pelaksanaannya di desa-desa, dengan semboyan “tanah untuk rakyat”.
Mengincar tanah-tanah milik tuan tanah, kiai dan tokoh agama yang
disegani.
Semboyan
ini membuat pengikut BTI cepat meningkat, ada harapan perubahan dimasa mendatang. Selama ini tanah
banyak di miliki tuan tanah, kiai dan tokoh agama. Dengan perjuangan ini, segera
rakyat kecil akan memiliki tanah, bukan menjadi buruh dilahan orang. Begitulah
pemikiran kawan buruh tani yang tergabung di organisasi ini.
Pengurus
yang hadir berpidato, bahwa perjuangan yang dilakukan ini tidak akan berhasil
tanpa dukungan dari semua anggota, serta jumlah massa yang lebih besar.
Sekarang mulai jelas, kenapa Parjo terus mendorong aku untuk bergabung di
organisasi ini.
Sudah
dua setengah jam acara ini berlangsung. Tiba waktunya sesi mendengarkan usulan.
Berbagai usulan di dengarkan dengan serius oleh para pengurus. Begitu pula
Parjo, menyampaikan permintaan agar koordinasi antara pengurus dan anggota
sering dilakukan.
Terdengar
dari luar suara kendaraan mesin besar meraung-raung, sebagian menebak asal suara
itu sebuah truk, di ikuti suara langkah kaki sesudahnya. Sontak, suara itu
mengagetkan semua orang yang ada dalam rumah. Sebagian nampak panik, pengurus mencoba menenangkan anggota BTI.
“Brraaakkk………”
suara pintu terdobrak, sejumlah orang berpakaian serba hitam merangsek masuk.
Beberapa dari mereka memakai ikat kepala, di ikuti empat orang berambut cepak
dibelakangnya dengan senjata laras panjang ditangan.
Mereka
menyuruh kami menunduk. Beberapa kena pukul dan tendangan, karena menolak
perintah mereka. Terlihat wajah Parjo berlumuran darah segar, ternyata suara berasal dari senapan laras panjang yang dipukulkan itu mengenai wajahnya. Seorang yang menggunakan
ikat kepala merah menginjak-nginjak tubuh Parjo. Ngeri, kasian, tapi aku
sendiri tidak mampu menolong.
Ikatan
tali dimulai dari lilitan di leher tersambung ke tangan dan kaki membuat gerak
terbatas. Dengan posisi menunduk, aku mencari tahu keadaan Parjo, terlihat
kondisi kawan diladang sejak lima tahun lalu itu, tak bergerak, hanya terdengar
erangan kecil, serta mata kiri nampak
pecah.
“Mudah-mudahan
cepat di akhiri penderitaannya..” doa dalam hati untuk Parjo.
Beriringan
semua orang yang di ikat dimasukan ke dalam truk. Kami diposisikan duduk, kepala
dan lutut harus menempel, tidak diperbolehkan mata melihat kondisi sekitar.
Beberapa saat truk tidak berjalan, walaupun semua orang sudah dimasukan ke
dalam bak belakang. Ketika truk mulai berjalan, bau asap tercium. Akhirnya aku
tahu, mereka membakar rumah tersebut dengan tubuh Parjo masih di dalam. Entah
dalam kondisi mati atau masih hidup ketika api disulut.
Perjalanan
terasa lama, gelap dan dilarang mengeluarkan suara. Terdengar suara tawa dari
kabin depan. Salah satu berkata, sopir atau orang disampingnya “Kendaraan ini
membawa kalian ke ujung ajal” di ikuti tawa lagi setelahnya.
Pikiranku
mulai kacau “Dibawa ke mana aku sekarang, bagaimana nasib keluargaku?”
pertanyaan muncul di dalam kepala setelah sopir menghentikan kendaraannya.
Semua
turun di ikuti perintah untuk berjalan mengikuti seorang didepan membawa
petromak, samar terlihat bahwa di depan ada sebuah bukit di tumbuhi pohon pinus.
Setelah berjalan sekitar tiga ribu langkah menyisiri jalan setapak, tiba
ditanah datar, luasnya tidak lebih dari lapangan badminton. Seorang menyuruh
lagi untuk membariskan kami, dari baju yang dikenakan memperlihatkan seragam
yang tak asing bagi rakyat.
Dua orang
maju membawa sejumlah sekop dan cangkul, ditaruh didepan barisan pertama.
Orang
berseragam memerintah bawahannya untuk membuka tali di barisan pertama. “Kalian
buruh tani tidak butuh waktu lama untuk menggali lubang sedalam pinggang”
kata-kata keluar dengan tegas.
Meski
udara malam itu dingin, namun keringat tetap membasahi tubuh. Perintah untuk
mempercepat galian lubang terdengar berkali-kali. Selama sejam barisan pertama
dengan barisan dibelakangnya bergantian menggali lubang sepanjang seputuh
meter.
Tali
di ikatkan kembali dari leher, tangan dan kaki. Semua disuruh diam, satu-persatu
disuruh melangkah maju diujung lubang. Seorang di ujung kanan dari barisan
pertama dalam kondisi masih terikat, di tebas lehernya oleh seorang berpakaian
serba hitam.
“Craakkkk….”
suara golok yang dipegang Algojo.
Masih
teringat jelas pidato pengurus beberapa jam yang lalu, begitu bersemangat
menyampaikan ideologinya, sekarang sudah menjadi mayat pertama menempati lubang
yang digali sendiri.
“Apakah
aku akan bernasib demikian” tanyaku kepada Tuhan.
Air
mata mulai membasahi pipiku, penyesalan sudah tidak berarti.
“Mengapa
aku mengikuti ajakan Parjo” kataku dalam hati, bahkan Parjo pun sekarang sudah
menjadi abu.
Bau
anyir menyelimuti malam itu, darah setinggi mata kaki mengisi lubang,
menjadikan tanah yang digali berubah jadi kolam mayat.
Setelah
barisan pertama dan kedua habis di ujung golok, barisan ketiga diperintahkan
melangkah maju mendekati lubang.
“Crassshhh…”
bunyi disertai tubuh jatuh kedalam kolam darah. Sedetik yang lalu tubuh itu
masih berdiri disebelahku.
Ketika
Algojo maju satu langkah mendekatiku, dengan golok dalam genggaman dan tangannya
siap mengayun, dia berkata “Berdoalah kalau kamu percaya Tuhan”.
Mataku
terpejam, tubuhku menggigil, tidak sanggup mengetahui apa yang akan terjadi.
“TUNGGU…!!!!!!!!”
seorang berteriak.
Suara
yang tidak asing, bahkan aku kenal suara itu sejak bertahun-tahun lalu. Seketika
aku membuka mata, “Duhlah..” kataku.
Duhlah
datang mendekatiku, perasaan lega didada mengalahkan segalanya. Terasa lunglai kedua
lutut, melemahkan tubuh menjadi duduk, ingin rasanya mengucap syukur dan berdoa
berterima kasih kepada Tuhan. Saudaraku telah menyelamatkan ayah dari dua anak
yang tak pernah dia perhatikan. Adikku memang tidak pernah memperhatikan
keponakannya, tetapi malam ini telah menjadi penyelamat. Menyelamatkan tulang
punggung keluarganya.
“Berdiri..”
kata Duhlah.
Aku
pun mengikuti permintaan saudaraku dengan senyum dan rasa ingin memeluk erat.
“Ini
jatahku..” kata Duhlah tepat dihadapanku.
Terdengar
suara “Crashhhhhh….” tanpa ragu Duhlah menebas leherku.
Gelap,
dingin dan hilang semua rasa.
* *
* * * * * * * * * * * * * * * * *
Tiga
hari yang lalu,
Peristiwa
besar terjadi di Jakarta, tujuh Jendral diculik, diduga para pelaku adalah
orang-orang yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Jenazah para
Jendral ditemukan dalam sebuah sumur di wilayah Halim Perdanakusuma, yang
dikenal dengan sumur lubang buaya.
Muncul
intruksi untuk memberantas PKI sampai ke
akar-akarnya. Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)
melaksanakan tugasnya. Operasi dilakukan untuk menangkap orang yang tertuduh sebagai PKI
di berbagai tempat. Hal ini diikuti oleh berbagai kelompok warga sipil, merasa
keamanan Negara menjadi tanggung jawab bersama. Masyarakat masih trauma dengan
perisiwa PKI di Madiun 1948, secara seksama tidak menginginkan peristiwa itu
terulang kembali. Mereka berpedoman, dibunuh atau membunuh.
Seseorang dianggap jagoan bisa terpilih untuk membantu penangkapan para simpatisan
PKI berikut dengan afiliasinya. Beberapa tuan tanah mengusulkan nama dan
mendukung operasi ini. Mereka takut, andai kata tanah yang dikuasai akan
diambil oleh rakyat. Padepokan yang mengajarkan ilmu kanuragan menjadi pilihan
sebagai tameng rakyat untuk menjalankan aksi ini.
Padepokan terpilih adalah pimpinan Mbah Jiwo yang dipercaya memiliki ilmu kebal. Para
murid memiliki tingkat ilmu kanuragan yang tinggi. Mereka diajarkan
teknik-teknik pertahanan, menyerang, dan mengalahkan musuh dengan secepat
kilat. Salah satu muridnya adalah Duhlah, murid kepercayaan Mbah
Jiwo.
Namun
naas, berita tentang perintah penangkapan simpatisan PKI terlambat sampai di
tempat tinggal Marjan, sebuah desa yang terletak di kaki gunung. Jarak dan
sulitnya medan membuat berita tersebut belum diketahui oleh anggota BTI. Alat
komunikasi pada masa tersebut belum secanggih sekarang.
0 comments:
Post a Comment