Sunday, November 30, 2014

November End



Hujan masih membasahi Solo
Menenggelamkan mentari setengah hari
Dahan ranting tumbang di lapang
Aku masih duduk di tangga

Gadis muda melewatkan badai
Melintaskan berpayungkan almamater
Esok hari mentari segera terbit
Membawa panas yang baru

Kawan datang dan pergi
Mengejar mimpi, mengejar diri
Manusia datang menghampiri
Berharap malam mau mengakhiri

Segeralah manusia bersorak
Mengiringi kepergian
Saat dirimu kembali
Hujan telah berhenti


Tahun ke dua sebagai asisten dosen semua masih sama, belum banyak perubahan. Semua dikendalikan dengan sistem, hidup berjalan sudah terjadwal. Kadang melelahkan, tapi terkadang menyenangkan. Sedih dan senang datang silih berganti.
Di bulan kesebelas, dihari terakhir, hujan masih membasahi Solo. Sepanjang hari hujan tidak mereda, menjauhkan hangat mentari. Seperti biasa jadwal mengajar sebagai asisten dosen selalu diberikan jam terakhir, atau jam ke-empat. Artinya perkuliahan akan selesai sore hari.
Perkenalkan, namaku Debi. Aku bekerja di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Solo. Perguruan tinggi ini yang memberikan gelas sarjana. Sejak mendapatkan gelar sarjana dua tahun lalu itu, aku diminta dosen pembimbing untuk menjadi asisten dosen.
Kehidupanku sejak awal kuliah sampai saat ini tidak banyak berubah. Hidup yang dijalani sudah terjadwal dengan baik. Sebagai karyawan tidak tetap aku tinggal menjalankan sistem yang sudah berjalan.
Setelah kelas berakhir sore ini, aku belum bisa meninggalkan kampus. Hujan sepanjang hari mengurungkan niat untuk beranjak dari tempat duduk. Jarak kampus dengan tempat kos, akan membuat tubuhku basah kuyup, apabila aku paksakan segera pulang. Sudah setengah jam menatap air hujan yang terus diturunkan oleh Sang Pencipta.
Suasana seperti ini sering memutar kembali memori yang sudah berlalu. Merasakan kembali rasa yang pernah dirasakan tempo dulu. Masih sama, belum banyak berubah. Getaran dan pikiran mencoba melupakan, tapi sulit, semua mengalir begitu saja.
“Dejavu…” kataku pelan.
Ujung pandangan serasa menjauh, semakin mengecil, terdengar suara riuh mahasiswa, tawa, canda dan jerit. Bagai film dokumenter, semua muncul begitu saja. Kejadian semasa kuliah terulang kembali, dalam pandangan yang absurd saat ini terjadi. Diujung bangku depan kelas, seorang mahawiswa berkaca mata, serius membaca buku yang dia pegang.
Dalam kesendirian dan petang yang mulai datang, seolah menguatkan bahwa film ini tak akan berakhir. Segera kututup mata, diam beberapa saat. Tapi suara terdengar makin keras, tawa, canda, obrolan, semua menjadi satu. Begitu memekik telinga, kedua telapak tangan menutup rapat lubang pendengaran.
“Duaarrrrrrrr………..” petir menyambar diikuti gemuruh sesudahnya.
Jantung berdebar-debar, memacu lebih kencang dari waktu sebelumnya. Rasa kaget menghapuskan pandangan masa lalu. Seperti layar proyektor yang meredup sinarnya pelan-pelan setalah dimatikan. Semua kembali normal, Aku dapat memandang sekitar dengan wajar.
Seorang mahasiswi berjalan menyeberangi kubangan air. Jalan depan gedung fakultas ekonomi, sudah rusak sekian bulan ini. Almamater sebagai penutup kepala, menggantikan payung yang ia lupa bawa.
Tiga setengah tahun dikampus ini, akan membawa raihan prestasi cemerlang. Ia mahasiswi berprestasi, memenangkan berbagai kompetisi. Baik tingkat lokal provinsi maupun nasional. Lulus dengan predikat caumlaude akan segera ia dapatkan.
Banyak sekali cowok yang mencoba mendekati, tapi ia belum mau membuka hati. Dari tipe alim, keren, lugu, borjuis bahkan sampai tipe play boy pun banyak yang mencoba mendekati. Semua berakhir sama, nasibnya terbuang di tong sampah.
Sebagai asisten dosen, tentu aku mengenalnya. Semester kemarin, ia pernah mengikuti kelasku, kelas statistik II. Tampak beda dengan mahasiswa lain, perbedaan itu terlihat dari kecerdasan yang ia miliki. Mahasiswi berzodiak libra ini, bukan hanya aktif dikelas, tapi juga aktif dikegiatan diluar kampus.
Berawal dari perkenalan dikelas, membuat kedekatan kami terus terjalin. Diskusi berjalan dikelas, dikantin dan berlanjut di alat komunikasi modern. Pertanyaan yang ia lontarkan tak jarang membuat diriku berfikir keras untuk menemukan jawaban. Seolah-olah, ia mengerjaiku dengan pengetahuannya.
Pertemanan berlangsung berbulan-bulan, membuat orang lain berfikir kami bersahabat. Orang lain akan melihat kemana-mana kami berjaan berdua. Sampai suatu ketika, perasaan dalam dada terasa aneh. Rasa yang kumiliki bukan sebagai kasih sayang sahabat, tapi aku jatuh cinta terhadap dirinya.
Semakin aku pendam, semakin berat beban yang ditanggung. Intensitas pertemuan kami berjalan semakin sering. Menjelang kelulusannya, ia sering mendiskusikan rencana setelah menjadi sarjana dalam waktu dekat. Bahkan berbagai nasihat belum banyak aku temukan. Usia muda belum menjadikan aku manusia bijak penuh pemahaman.
Hingga akhirnya, peristiwa kemarin sore merubah segalanya. Saat ia meminta untuk bertemu, mendiskusikan rencana studi lanjutnya ke luar negeri. Disela-sela percakapan yang berlangsung, aku mememndam perasaan yang teramat perih. Menahan rasa cinta yang tersembunyi.
Mulut tak mampu menahan, mengucapkan rasa cinta. Ia nampak senang, rona pipi dan senyum bibir tipis menyambut ucapan dua detik yang lalu. Tangannya meraih tanganku, ia menanggapi dengan genggaman tangan.
“Tenang mbak, meski kuliah diluar negeri, aku tak akan melupakan persahabatan kita. Banyak kan media sosial yang dapat kita gunakan berkomunikasi” jawaban yang  diberikan.
“Kalau bener-bener kangen, nanti aku kirim hadiah dari Amsterdam.” Lanjut ia meyakinkan bahwa persahabatan yang terjalin, tidak dengan mudah terhenti karena jarak.
Lantas aku berkata “rasa cinta yang aku miliki, bukan rasa cinta sebagai sahabat, tapi sebagai seorang kekasih.”
Spontan ia berkata “mbak ini lucu, masak jeruk minum jeruk, hahahaha.”
Ia masih menganggap perkataanku sebagai gurauan, pemecah rasa sedih menjelang kepergiannya mencari ilmu di Amsterdam. Dengan penuh keseriusan, aku meyakinkan bahwa perasaanku benar-benar nyata. Bukan seperti gurauan yang ia maksud.
Ia diam menatap tajam, memandang dalam-dalam, pelan-pelan mata berubah, meneteskan air membasahi pipi. Seakan tak kuasa mendengar isi hati yang aku ungkapkan. Secepat kilat, ia mengambil tas yang sedari tadi diatas meja, menumpahkan lemon tea dalam gelas bening. Bergegas pergi dari kursi merah yang masih membentuk lekuk tubuhnya.
Berulang kali aku hubungi, tapi ia tak pernah menjawab teleponku. Berpuluh-puluh pesan aku kirim, tak satupun ia membalas.
Rasa sesal begitu menyesakan dada, melebihi rasa sesak cinta selama ini. Permintaan maaf seakan sudah sia-sia, mengakhiri persahabatan yang sudah terjalin.

Hujan tak kunjung berhenti, aku masih disini, dikampus dalam remang petang merenungi segala penyesalan. Berharap segalanya segera berakhir, berhenti disini, tak jauh dari sini. Karena semua berawal dari sini.
Categories: ,

1 comment:

  1. bikin cerita yang happy ending dong pak :D

    ReplyDelete