(Her)
9:00
Resmi
Aku menerima surat pemberhentian dari HRD, dengan satu amplop lagi berisi
pesangon sebesar tiga juta rupiah. Setelah Aku kemasi barang-barangku dari
ruang kerja, seluruh karyawan diruangan bergantian mendatangiku. Beberapa
mengucapkan semangat dan ikut bersedih, tapi tidak sedikit yang nampak bahagia
dengan kepergianku.
Joni
orang terakhir yang mendatangiku, padahal ruang kerja Kami bersebelahan, Dia
beralasan tidak sanggup menghadapi kepergianku. Sebelum Aku pergi, Dia
memelukku, pelukan rekan kerja serta sahabat selama empat tahun terakhir.
Sebungkus
rokok dimasukan kekantong kemejaku. “barangkali Kamu butuh untuk menenangkan
diri” kata Joni, dengan maksud sebungkus rokok sebagai teman untuk merenungi
nasip yang terjadi dihari ini.
“Persahabatan
Kita tidak berhenti disini, kalau butuh sesuatu hubungi Aku” lanjut Joni
Aku
berjalan keluar menuju tempat parkir diselimuti rasa masih tidak percaya dengan
alasan yang diberikan Pak Danu untuk memecatku.
“Kalau
memang alasan pemecatan untuk menyehatkan keuangan perusahaan, kenapa hanya Aku
yang keluar dari kantor hari ini.” ucapan kata hati sambil melihat keadaan
tempat parkir.
Akal
sehatku memberi sanggahan “seharusnya tidak hanya Aku yang diberhentikan,
memecat satu orang untuk menyehatkan keuangan perusahaan, sungguh tidak logis.”
Walaupun
Aku bukan ahli keuangan, tapi berbekal pengalaman bekerja, Aku merasa yakin
kalau gaji sebesar UMR tidak akan mengurangi asset perusahaan.
Dengan
bantuan security perusahaan, Aku menali dua kardus berisi barang-barang diatas
sepeda motor. Kesedihan nampak di raut muka Pak Darman, security yang sudah
memiliki dua anak tersebut. Sebagai kepala rumah tangga yang sudah lama,
memberikan pesan bijak kepadaku.
Aku
nyalakan mesin sepeda motor, indikator bahan bakar sudah mendekati huruf E. Beberapa
SPBU, Aku lewatkan tanpa mengisi premium yang menjadi salah satu alasan
pemecatan. Mungkin Aku masih marah, tidak terima dengan pemecatan. Sehingga Aku
marah juga terhadap premium, tidak membeli walaupun ditangki sudah minipis.
Lima
kilometer sebelum sampai rumah, laju motor mulai tersendat. Aku paksakan untuk
terus melaju, tidak sampai dua puluh lima meter, mesin motor sudah mati. Jelas,
sebab mati mesin sepeda motor karena belum isi bahan bakar.
Dijalan
yang dari hari Senin sampai Sabtu dilalui ini, Aku tahu dalam jarak terdekat
sudah tidak ada SPBU. Aku paksakan mendorong sepeda motor menuju rumah, dengan
berharap didepan ada warung yang menjual premium.
Sudah
lima menit sepeda motor Aku dorong, namun belum ada warung yang menjual premium
eceran. Dengan dua kardus berisi barang perlengkapan kantor di atas sepeda
motor, membuat tenaga yang dibutuhkan untuk mendorong menjadi berlipat ganda.
Penyesalan
datang belakangan, merasa melakukan tindakan bodoh tidak membeli bahan bakar di
SPBU karena marah terhadap Pak Danu yang menjadikan kenaikan BBM sebagai salah
satu alasan untuk memecat.
Matahari
semakin meninggi, panasnya membuat tubuh dibanjiri oleh keringat. Baju yang
tadi pagi rapi, menjadi lusuh dan berbau apek karena keringat. Sesekali Aku
menghentikan langkah, sekedar mengatur pernafasan yang sudah tersengal-sengal.
Nampak
di depan bangunan bercat putih kombinasi merah, berciri khas salah satu rokok
yang menggunakan warung tersebut sebagai media promosi, terlihat menjual
premium. Rasa lega terasa di dada, akhir perjuangan mendorong sepeda motor
segera berakhir.
Dengan
selembar lima puluh ribuan, Aku mengisi bahan bakar sebanyak tiga liter.
Sebagai pengangguran, tiap satu rupiah begitu berharga. Sebelum dipecat, Aku
sudah berusaha hidup hemat demi Kayla, apalagi dengan kondisi sekarang harus
lebih berhemat lagi.
Setelah
beberapa kali percobaan menyalakan mesin tidak berhasil, pada percobaa kelima
masin berhasil menyala. Segera Aku masukan gigi satu agar sepeda motor ini
melaju. Setelah mencapai kecepatan 60 km/jam, terasa aneh dibagian belakang
sepeda motor. Lajunya tidak stabil, kadang terasa kekanan dan kiri.
Sebagai
biker sejati, Aku paham kejadian ini merupakan tanda-tanda ban sepeda motor
kempes. Segera Aku hentikan lajunya, terlihat jelas saat menengok kearah bawah
bagian belakang, ternyata ban sudah kempes.
“Sudah
jatuh tertimpa tangga” kataku dalam hati.
Dipecat
hari ini sudah menjadi berita buruk buat Aku, ditambah kehabisan bahan bakar
ditengah jalan menjadi penderitaan yang komplit. Sekarang ban belakang bocor,
karena beban dua kardus di belakang. Sungguh bonus besar yang Aku dapatkan hari
ini.
Tapi
kali ini keberuntungan masih berpihak terhadapku, tak jauh dari tempat ban
bocor, terlihat tukang tambal ban sedang menanti pasiennya.
“Rejeki
sudah diatur oleh yang di Atas” begitulah yang Aku pikirkan.
Ban
bocor merupakan musibah buatku, tapi menjadi rejeki bagi orang lain yang
berprofesi sebagai tukang tambal ban. Dengan gembira tukang tambal ban tersebut
menyambutku.
Segera
dibongkar ban belakang, terlihat paku dengan panjang 5 cm menancap. Sumber
penyebab berupa paku, dimasukan ke kaleng oleh tukang tambal ban. Sedikit Aku
lirik, ternyata dikaleng tersebut sepertiganya berisi paku yang sama.
Belum
selesai ban ditambal, dari ujung pandangan terlihat seorang ibu muda mendorong
sepeda motor matic dengan anak balita duduk diatas jok. Tak bisa Aku bayangkan
bagaimana bila Susanti dan Kayla yang mengalami kejadian tersebut ditengah
terik matahari.
Akhirnya
ibu muda tersebut ikut mengantri untuk ditambal bannya yang bocor. Beberapa
waktu tukang tambal ban memutar roda depan mencari tahu penyebabnya. Dengan
jeli Aku memperhatikan setiap senti putaran roda, paku dalam kondisi baru yang
menjadi sebab kebocoran. Sama persis dengan paku yang menancap di ban
belakangku.
Kecurigaan
timbul, melihat paku yang menjadi sumber kebocoran disepeda motorku dan ibu
muda tersebut, sama dengan paku-paku yang ada dikaleng tadi.
“Apabila
ada satu lagi kendaraan mengalami bocor ban, maka Aku akan menyimpulkan bahwa
rejeki tukang tambal ban bukan diatur oleh Tuhan. tapi oleh dirinya sendiri” kesimpulanku
dalam hati.
Setelah
membayar Rp. 7000 untuk ongkos tambal ban, Aku lanjutkan perjalanan ke rumah.
Semakin dekat kerumah, membuat hati semakin ragu. Alasan apa yang akan Aku
berikan ke Susanti, mengapa Aku pulang lebih awal. Apabila Aku berkata jujur
telah dipecat, rasanya akan menyakiti Istriku tersayang.
Dalam
sisa perjalanan sampai rumah Aku mencoba mencari beberapa alasan yang tepat
untuk memberi jawaban ke Susanti. Mesin sepeda motor sudah mati, Aku ambil
kunci kontak dari lubangnya dan berjalan menuju pintu.
Di depan
pintu, Aku lebih takut dibandingkan tadi ketika akan memasuki ruangan Pak Danu.
Ketika tangan kanan akan meraih gagang pintu, secara tiba-tiba pintu terbuka,
sontak membuat Aku kaget.
Ternyata
Susanti yang membuka pintu, mendengar suara sepeda motor yang sudah dihafal
berhenti diteras depan. Tanpa banyak kata, Susanti meraih tanganku, mencium
tanganku dan mengucapkan salam.
“Kok
tumben mas tidak mengucapkan salam” kata Susanti.
“Mas
kok dah pulang, Mas sakit?” disertai tangan kanannya memegang keningku. “Kok
gak panas”
“Masya
Allah, mas kalo kangen Kayla tidak perlu pulang secepat ini” kata Istriku lagi.
Aku
gemetar, keringat dingin keluar dan tubuh menjadi kaku, tidak tahu harus
berkata apa. Melihat perubahan pada diriku, Susanti menjadi panik. Segera
membimbingku untuk duduk dikursi tamu, disertai membantu membuka jaket yang
masih Aku kenakan.
Susanti
berlari menuju dapur untuk mengambil segelas air putih. Dengan bantuan tangan
Susanti, pelan-pelan Aku meneguk air putih yang baru diambil dari lemari es.
Setelah
Aku tenang, Susanti mencoba menanyakan kembali, apa yang terjadi pada diriku.
Terdengar berkali-kali ajakan dari Susanti untuk pergi ke dokter memeriksakan
kesehatanku.
Beberapa
waktu Aku terdiam, mencari kata-kata yang tepat untuk memberitahu bahwa Pak
Danu sudah menghentikanku sebagai karyawannya. Dengan pelan dan penuh kehatian,
Aku menceritakan kejadian hari ini di kantor.
Menjelang
siang hari, tangis pecah diruang tamu setelah Susanti mendengar penjelasanku.
Tangisan Istriku semakin keras, membuat Aku tak kuasa untuk ikut menangis dan
memeluk Susanti. Ditengah-tengah tangisan berdua, terdengar suara tangis sang
buah hati, Kayla putri pertama Kami.
0 comments:
Post a Comment