Bagi pemuda kelahiran tahun 1990-an, tidak banyak yang
mengetahui sosok Wiji Thukul. Bahkan bagi orang Solo sekalipun, masih banyak
yang belum mengetahui aktivis cadel yang tidak bisa melafalkan huruf “r”
tersebut. Wiji Thukul merupakan bagian sejarah yang terjadi pada pergolakan
politik ditahun 1998. Sosok yang sederhana berambut lusuh, berpakaian kumal
tetapi dianggap berbahaya oleh Pemerintah. Melalui selebaran, poster, stensilan
dan buletin propaganda yang disebar, mampu menggerakan kaum buruh dan petani
untuk membeci terhadap Orde Baru.
Wiji Thukul adalah pengamen puisi yang berisi kritik
terhadap pemerintahan dimasa Orde Baru, dia menjadi simbol “perlawanan” bagi
kaum bawah.
Seri Buku Tempo Prahara-Prahara
Orde Baru yang berjudul Wiji Thukul merupakan salah satu buku yang membahas
kisah hidup, “perjuangan”, masa pelarian dan sampai dimana keberadaannya yang
masih belum diketahui hingga sekarang. Buku setebal 160 halaman, cetak pertama
kali pada bulan Juni, tahun 2013 yang merupakan terbitan KPG (Kepustakaan
Populer Gramedia).
Pada bagian pertama, Dari Kota ke Kota,
menceritakan perjalanan Wiji Thukul untuk bersembunyi dari Solo ke Salatiga,
Yogyakarta, Magelang, Jakarta dan Kalimantan. Pelarian dimulai ketika polisi
datang ke rumah kontrakan di Kampung Kalangan, Solo. Dengan cerdik, Wiji Thukul
bersikap tenang dan menemui tamunya. Polisi yang datang pada kala itu tidak
mengira kalau sosok yang menemui mereka adalah Wiji Thukul. Polisi mengira
bahwa yang menemui mereka adalah Joko, teman Wiji Thukul dari Yogyakarta.
Dalam persembunyian, dia sempat mendapatkan ilmu
penyamaran dari Cendikiawan Arief Budiman. Oleh Arief Budiman yang pernah
mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana, Wiji Thukul diberi bekal uang
untuk hidup hingga sebulan. Walau berpindah ke beberapa kota, Wiji Thukul masih
bisa bertemu dengan istrinya, Diah “Sipon” Sujirah melalui jaringan teman-temannya
yang menyembunyikan dia.
Karena keinginan Wiji Thukul untuk datang ke Jakarta,
melalui bantuan aktivis prodemokrasi membantu menyembunyikan di beberapa
tempat. Dia juga pernah disembunyikan di rumah Indriani yang berlokasi di
Perumahan Bojong Gede, Bogor. Indriani merupakan aktivis perempuan asal
Yogyakarta yang terkabung dengan Solidaritas Perempuan.
Pada masa pelarian, Wiji Thukul kerap membawa buku
bacaan untuk teman-temannya. Dia juga pernah bersembunyi disekitar Kampung
Kebon Jati, Karawaci, Tangerang. Di kontrakan ini, Wiji Thukul tinggal selama
lima bulan dengan Lukman Hakim, salah satu aktivis Partai Rakyat Demokratik.
Dalam bagian Hilang dalam Prahara, berisi
tentang beberapa aktivis yang berhasil ditangkap. Nama Wiji Thukul berulang
kali disebut pada saat interogasi, salah satunya adalah Nezar Patria. Tim
interogasi berulang-ulang kali menayakan keberadaan Wiji Thukul kepada dirinya.
“Kamu kenal Wiji Thukul? Dimana dia sekarang?” Ketika
Nezar tak menjawab pertanyaan itu, buk, buk, sejumlah pukulan melesak di
perutnya. Halaman 64.
Selain Nezar Patria ada Mugiyanto yang ikut ditangkap
dan dibawa ke markas koramil. Pada saat bersamaan ada pula Jaka yang ditangkap
dan di interogasi bersama Mugiyanto, yang ternyata personel Koppasus bernama
Kapten Djaka Budi Utama. Mugiyanto sendiri dibawa ke markas Koppasus di
Cijantung, Jakarta Timur.
Selain membahas tentang penangkapan beberapa aktivis,
pada bagian ini juga mengulas tentang penemuan mayat di perairan Kepulauan
Seribu yang di duga menjadi tempat pembuangan korban tergedi di Jakarta.
Pada halaman berikutnya membahas tentang anggota Tim
Mawar setelah tragedi penculikan, beberapa anggota bekerja di luar kegiatan
militer dan yang lain masih bekerja dalam militer. Ada juga yang setelah
pensiun bergabung dalam partai politik.
Pada bagian Biji Tumbuh Perlawanan Buruh,
membahas tentang perjalanan hidup pribadi Wiji Tukul sebelum menjadi aktivis
maupun sesudahnya. Wiji Thukul aktif dalam kegiatan gereja pada masa remaja,
yakni di Kapel Sorogenen, Solo. Bersama adiknya, Wahyu Susilo, mendatangi
gereja pada Ahad pagi yang juga diminta kakaknya untuk membawakan buku doa dan
nyanyian Madah Bakti.
Dilembar berikutnya mengulas tentang Wiji Thukul muda
yang tergabung dala Teater Jagat. Cempe Lawu Warta, pendiri Teater Jagat yang
terletak di Kampung Jagalan Tengah, Kelurahan Jagalan, Jebres, Solo adalah guru
yang mengajari Wiji Thukul dalam kesenian. Sempat kesulitan dalam menemukan
bakat yang tepat untuk Wiji Thukul dan kemudian hari diketahui bahwa berbakat
dalam membawakan puisi.
Atas bantuan Halim H.D, aktivis kebudayaan jebolan
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Wiji Tukul mampu membuka wawasan dan
jaringan dalam membawakan puisi. Salah satunya adalah menggagas dan membantu
ngamen keliling Jawa pada 1986-1987. Wiji Thukul juga kerap meminjam buku
kepada Halim, sebagai sumber bacaan. Selain buku teori sastra, buku Tan Malaka,
Sjahrir, Bung Hatta merupakan buku yang dii pinjamkan ke Wiji Thukul.
Unjuk rasa di sepenjang jalan menuju pabrik garmen PT
Sri Rejeki Isman Textile, adalah salah satu yang membekas buat Wiji Thukul,
salah satu matanya luka kena pukulan dan benturan dikap mobil. Akhirnya, berkat
bantuan dana dari rekan-rekannya, berhasil di operasi di Rumah Sakit Mata Dr
Yap, Yogyakarta.
“Yo iku paitanmu, modalmu sing paling penting. Wong
mlarat mung duwe paitan cangkem, piye kowe nyuworo (Itulah moal kamu yag
paling penting. Bagi orang miskin, mulut adalah modalnya, bagaimana kalian
bersuara)” halaman 110.
0 comments:
Post a Comment