Thursday, December 11, 2014

One Difficulty Can Arise A Thousand Opportunities Part 1


Her
6:30
Mesin sepeda motor merek Honda berkapasitas 160cc dinyalakan, kebiasaan rutin sebelum berangkat kerja selama 2 menit. Langit nampak cerah, berbeda dengan hari-hari sebelumnya berselimutkan mendung. Dengan lap kain bersih menjadi alat untuk memoles bodi sepeda motor yang Desember tahun lalu merupakan angsuran terakhir.
Gaji pertama menjadi uang muka untuk mengambil sepeda motor ini. Jasanya sudah banyak, membawa kebeberapa tempat yang ingin Aku kunjungi, terlebih menjadi kendaraan andalan mengantarkan Susanti, mantan pacarku. Sepeda motor ini pula yang mengantarkan Aku untuk memohon restu ke ayahanda Susanti.
“Sebelum berangkat habisin dulu tehnya mas” kata Susanti, yang tiba-tiba muncul menggendong buah hati berumur tiga bulan. Aroma khas bayi begitu semerbak dipagi ini, mengalahkan asap knalpot yang sedari tadi keluar.

Aroma khas bayi ini mengingatkan Aku waktu di kantor, pekerjaan yang menumpuk ingin segera ku selesaikan, agar lebih cepat sampai dirumah. Tentunya untuk menggendong Kayla, putri pertama Kami.
Kebahagiaan rumah tangga Kami begitu lengkap setelah kelahiran si kecil. Tangisnya ditengah malam menjadi hiburan tersendiri. Terlebih kehadiran si kecil membuat hubungan Kami semakin mesra, saling bahu-membahu mengurus buah hati setiap harinya.
“Dadah Papa, jangan pulang malam-malam ya, Adek kangen….” kata Istriku, seolah-olah mewakili perkataan Kayla.
Kucium kening dan pipi Kayla sebelum menaiki roda dua yang sedari tadi sudah siap mengantar ke kantor. Tidak lupa, lupa Istri tercinta mencium tanganku saat bersalaman.
“Hati-hati dijalan pa..” kata Susanti setelah melepaskan keningnya dari kepalaku.
Senyum dengan gigi putih menjadi jawaban yang Aku berikan. Jarak rumah sampai kantor tempat bekerja sekitar tiga puluh kilometer. Biasanya ditempuh dengan dua puluh lima menit perjalanan roda dua.
Semangat bekerja terlihat jelas dibeberapa orang yang memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Jalanan menjadi lebih semrawut, belum lagi para pelajar berangkat sekolah di waktu yang sama dengan para pencari nafkah. Andai tidak hati-hati, kecelakaan yang akan terjadi.
“Braakkkkkkk….” Suara benturan kaca spion mengagetkanku. Segera membuat diriku tersadar dari lamunan tentang menggendong Kayla. Tanpa memberi peringatan, seseorang menyalip melalui jalur kiri dan menyerempet kaca spionku. Alhamdulillah, kejadian tersebut tidak membuat jatuh.
Orang tersebut pergi berlalu saja tanpa mengucap maaf, sempat ingin mengejar, tidak terima dengan kejadian tersebut. Tapi, pesan Istriku selalu untuk bersabar, mengurungkan niat. Mungkin kehadiran Kayla membuatku lebih bersabar, berbeda dengan sebelum menikah dulu. Kewaspadaan Aku tingkatkan, agar sampai dengan selamat dikantor.
Jam ditangan kiri menunjukan 06.50, masih ada sepuluh menit untuk tidak terlambat di kantor. Penuh kehati-hatian Aku jalankan sepeda motor dengan kecepatan 60 km/jam. Mungkin seperti pesan di pintu belakang bak truk tempo hari “biar lambat asal selamat.
Sesampai ditempat parkir, Joni menyambutku dengan sebungkus rokok ditangan. Joni yang memiliki nama asli Junaedi, mempunyai kebiasaan merokok terlebih dahulu sebelum menyentuhkan jari ke mesin absen.
Masih ada waktu pikirku untuk menyalakan sebatang rokok putih, dengan obrolan kelas karyawan, mulut Joni penuh asap mengepul.
“Billy, semalem Barca menang gak?” tanya Joni.
“Mana Gue tahu, Loe kan tahu ndiri, mana mungkin nonton klub Catalan bertanding” kataku.
Pertanyaan Joni terasa sedikit aneh, selama ini dia tahu, hanya Liga Inggris saja yang Aku tonton.
“Sarap Loe ya.. dibayarpun Gue gak bakalan mau nonton bola selain Liga Inggris, dari pada ngomongin yang gak penting, yuk masuk” melanjutkan jawabanku.
Sejak kelahiran Kayla tentu Aku tidak mau terlambat lagi, walaupun hanya terjadi sebulan sekali. Andai terlambat, harus bersiap gaji dipotong sebesar lima persen. Kebutuhan keluarga semakin meningkat, potongan gaji akan memberatkan keuangan.
Sejak selesai kuliah sampai menerima pekerjaan di perusahaan percetakan dan advertising, gaji yang Aku terima hanya mengalami kenaikan sebanyak dua kali, itu pun hanya naik dua persen.
Kehadiran Kayla membuat Aku semakin berhemat, jatah rokok sehari satu bungkus pun berkurang menjadi seminggu. Dapat dipastikan tiap pagi Joni akan selalu menawarkan rokoknya. Seakan dia tahu kebutuhan rumah tanggaku terus membengkak.
Harga popok dan susu bayi tergolong mahal untuk karyawan dengan gaji UMR plus tunjangan yang tidak seberapa. Kayla memerlukan susu tambahan, ASI dari Istriku tidak lancar. Sebagai Ayah yang baik, Aku akan memberikan yang terbaik untuk keperluan Kayla.
Komputer Pentium 4 mulai Aku nyalakan, layar monitor yang berkedip-kedip ketika dinyalakan menandakan usia alat elektronik segera diistirahatkan. Berkali-kali Aku mengajukan peralatan terbaru untuk menunjang kerja, tapi dengan berbagai alasan selalu menggagalkan pengajuanku.
Sudah satu setengah jam mataku memandang layar monitor, mendesain tampilan iklan sesuai keinginan klien baru. Hasil presentasi didepan klien minggu kemarin, dirasa masih belum memuaskan. Berdampak pada gagalnya perusahaan mendapatkan pengerjaan iklan dengan dana yang besar. Lelang tersebut dimenangkan oleh jasa periklanan lain, Adeka Adv yang akhir-akhir ini namanya mulai dikenal masyarakat.
Padahal menurutku materi Kami lebih baik, Aku mengerjakan materi tersebut selama berminggu-minggu, dengan meminta pertimbangan dari beberapa rekan. Wajah Pak Danu selaku Manajer juga tampak seram, seolah ingin membakar diriku hidup-hidup, atas hilangnya kesempatan emas yang seharusnya didapatkan.
Mungkin menurut Pak Danu, materi yang Aku buat sudah membuat malu perusahaan. Sebagai perusahaan yang sudah lama berdiri, dikalahkan oleh Adeka Adv yang belum genap setahun terjun di jasa periklanan. Komentar dari salah satu karyawan Adeka Adv sebelum meninggalkan ruang meeting di Grand Pasifik Hotel juga membuat Pak Danu murka terhadapku. Dengan jelas terdengar salah satu staf mengucapkan “disekolahin lagi tuh karyawan, anak gue yang SD aja bisa bikin yang lebih bagus dari itu.”
Karena kejadian tersebut, dalam beberapa hari ini membuat beban kerjaku semakin meningkat. Rasa gagal membuat Aku berusaha membuat hasil terbaik yang bisa diterima klien.
Hanya dukungan Istri dan wajah lugu Kayla yang menenangkanku. Beberapa saat wajah Kayla muncul dilamunan, tanpa Aku sadari, sudah berkali-kali telepon dimeja kerja berbunyi.
“Woi, Gendut!! Telepon tu angkat” perintah Joni disertai gedoran dari kubikel sebelah kiri.
Terkadang Joni memang masih memanggilku Gendut, padahal sejak usia tujuh bulan kehamilan Susanti, berat badanku terus menurun. Bahkan sekarang sudah mencapai berat enam puluh lima kilogram. Berbeda jauh dengan awal pernikahan dulu yang pernah menyentuh angka delapan puluh kilogram.
Ketika tangan akan meraih gagang telepon, ternyata dering sudah berhenti. Berganti dimeja Joni yang teleponnya berbunyi, terdengar obrolan sebentar diikuti kepala Joni muncul di dari atas dinding yang memisahkan ruang kerja.
“Heh Billy, diminta menghadap Pak Danu  sekarang, sudah ditunggu di ruangan. Mungkin dia akan melihat materi buat klien yang baru” perintah Joni.
Sebelum berangkat menuju ruangan Pak Danu, Aku sempatkan untuk menelepon dulu. Meminta maaf karena tadi tidak segera mengangkat telepon dengan alasan sibuk. Dengan singkat hanya jawaban perintah untuk segera datang keruangannya.
Dengan gugup dan keringat dingin, langkah menuju ruangan Pak Danu terasa berat. Sebelum memutar gagang pintu yang tertulis Manajer, Aku sempatkan menarik nafas panjang dan menghembuskan pelan-pelan.
Aku ucapkan salam sebelum melangkah maju menuju kursi dihadapan Pak Danu. Ketika akan  memberikan hasil materi yang sudah Aku siapkan, Pak Danu menolak dan menyuruh materi tersebut untuk disimpan kembali.
Pak Danu menceritakan bagaimana awal mula berdirinya perusahaan yang dirintis sejak  masih muda, hingga sekarang sudah memiliki karyawan puluhan, bahkan hampir menyentuh angka seratus. Usaha yang dirintis menjadi sumber penghidupan bagi dirinya dan karyawan lain, termasuk Aku sendiri.
Setelah lima belas menit Pak Danu berbicara panjang lebar, Aku bisa menyimpulkan apa inti dari yang Dia ucapkan. Pertama, kenaikan harga bbm mempengaruhi biaya produksi. Kedua, pemesan iklan semakin menurun, bahkan tempo hari perusahaan besar yang akan menggunakan jasa Kami gagal didapatkan. Ketiga, perlu pengurangan karyawan untuk menstabilkan keuangan perusahaan. Kesimpulan akhir adalah Aku termasuk karyawan yang diistirahatkan untuk menstabilkan keuangan perusahaan.
Mendengar kabar tersebut, jantung berdetak kencang, nafas menjadi berat dan pandangan menjadi kabur. Selanjutnya yang disampaikan Pak Danu sudah terdengar tidak jelas ditelinga. Ruangan Manajer selebar 4x6 meter, seakan menyempit meremukan seluruh tulang.
Tangan kanan Pak Danu sudah ada di depan mataku, menyampaikan salam terakhir. Dia menuntun langkahku menuju pintu keluar dari ruangan yang tiap hari Aku lihat selama empat tahun ini. Sebelum menutup pintu, Pak Danu memegang pundakku.
“Terima kasih Billy, selama ini sudah bergabung di perusahaan, masa depan Anda masih panjang” ucapan Pak Danu.
Selama ini pimpinan yang dikenal alim itu tidak pernah menyebut Anda kepadaku. Padahal tiap pagi Pak Danu selalu mengucapkan “Bagaimana kabar kamu hari ini?” Tapi detik ini sebagai pertanda bahwa Aku sudah tidak menjadi bagian lagi dari perusahaan.



Bersambung……
Categories: ,

0 comments:

Post a Comment