Monday, December 15, 2014

One Difficulty Can Arise A Thousand Opportunties Part 2


(Her)
9:00
Resmi Aku menerima surat pemberhentian dari HRD, dengan satu amplop lagi berisi pesangon sebesar tiga juta rupiah. Setelah Aku kemasi barang-barangku dari ruang kerja, seluruh karyawan diruangan bergantian mendatangiku. Beberapa mengucapkan semangat dan ikut bersedih, tapi tidak sedikit yang nampak bahagia dengan kepergianku.
Joni orang terakhir yang mendatangiku, padahal ruang kerja Kami bersebelahan, Dia beralasan tidak sanggup menghadapi kepergianku. Sebelum Aku pergi, Dia memelukku, pelukan rekan kerja serta sahabat selama empat tahun terakhir.
Sebungkus rokok dimasukan kekantong kemejaku. “barangkali Kamu butuh untuk menenangkan diri” kata Joni, dengan maksud sebungkus rokok sebagai teman untuk merenungi nasip yang terjadi dihari ini.
“Persahabatan Kita tidak berhenti disini, kalau butuh sesuatu hubungi Aku” lanjut Joni
Aku berjalan keluar menuju tempat parkir diselimuti rasa masih tidak percaya dengan alasan yang diberikan Pak Danu untuk memecatku.
“Kalau memang alasan pemecatan untuk menyehatkan keuangan perusahaan, kenapa hanya Aku yang keluar dari kantor hari ini.” ucapan kata hati sambil melihat keadaan tempat parkir.
Akal sehatku memberi sanggahan “seharusnya tidak hanya Aku yang diberhentikan, memecat satu orang untuk menyehatkan keuangan perusahaan, sungguh tidak logis.”
Walaupun Aku bukan ahli keuangan, tapi berbekal pengalaman bekerja, Aku merasa yakin kalau gaji sebesar UMR tidak akan mengurangi asset perusahaan.
Dengan bantuan security perusahaan, Aku menali dua kardus berisi barang-barang diatas sepeda motor. Kesedihan nampak di raut muka Pak Darman, security yang sudah memiliki dua anak tersebut. Sebagai kepala rumah tangga yang sudah lama, memberikan pesan bijak kepadaku.
Aku nyalakan mesin sepeda motor, indikator bahan bakar sudah mendekati huruf E. Beberapa SPBU, Aku lewatkan tanpa mengisi premium yang menjadi salah satu alasan pemecatan. Mungkin Aku masih marah, tidak terima dengan pemecatan. Sehingga Aku marah juga terhadap premium, tidak membeli walaupun ditangki sudah minipis.
Lima kilometer sebelum sampai rumah, laju motor mulai tersendat. Aku paksakan untuk terus melaju, tidak sampai dua puluh lima meter, mesin motor sudah mati. Jelas, sebab mati mesin sepeda motor karena belum isi bahan bakar.
Dijalan yang dari hari Senin sampai Sabtu dilalui ini, Aku tahu dalam jarak terdekat sudah tidak ada SPBU. Aku paksakan mendorong sepeda motor menuju rumah, dengan berharap didepan ada warung yang menjual premium.
Sudah lima menit sepeda motor Aku dorong, namun belum ada warung yang menjual premium eceran. Dengan dua kardus berisi barang perlengkapan kantor di atas sepeda motor, membuat tenaga yang dibutuhkan untuk mendorong menjadi berlipat ganda.
Penyesalan datang belakangan, merasa melakukan tindakan bodoh tidak membeli bahan bakar di SPBU karena marah terhadap Pak Danu yang menjadikan kenaikan BBM sebagai salah satu alasan untuk memecat.
Matahari semakin meninggi, panasnya membuat tubuh dibanjiri oleh keringat. Baju yang tadi pagi rapi, menjadi lusuh dan berbau apek karena keringat. Sesekali Aku menghentikan langkah, sekedar mengatur pernafasan yang sudah tersengal-sengal.
Nampak di depan bangunan bercat putih kombinasi merah, berciri khas salah satu rokok yang menggunakan warung tersebut sebagai media promosi, terlihat menjual premium. Rasa lega terasa di dada, akhir perjuangan mendorong sepeda motor segera berakhir.
Dengan selembar lima puluh ribuan, Aku mengisi bahan bakar sebanyak tiga liter. Sebagai pengangguran, tiap satu rupiah begitu berharga. Sebelum dipecat, Aku sudah berusaha hidup hemat demi Kayla, apalagi dengan kondisi sekarang harus lebih berhemat lagi.
Setelah beberapa kali percobaan menyalakan mesin tidak berhasil, pada percobaa kelima masin berhasil menyala. Segera Aku masukan gigi satu agar sepeda motor ini melaju. Setelah mencapai kecepatan 60 km/jam, terasa aneh dibagian belakang sepeda motor. Lajunya tidak stabil, kadang terasa kekanan dan kiri.
Sebagai biker sejati, Aku paham kejadian ini merupakan tanda-tanda ban sepeda motor kempes. Segera Aku hentikan lajunya, terlihat jelas saat menengok kearah bawah bagian belakang, ternyata ban sudah kempes.
“Sudah jatuh tertimpa tangga” kataku dalam hati.
Dipecat hari ini sudah menjadi berita buruk buat Aku, ditambah kehabisan bahan bakar ditengah jalan menjadi penderitaan yang komplit. Sekarang ban belakang bocor, karena beban dua kardus di belakang. Sungguh bonus besar yang Aku dapatkan hari ini.
Tapi kali ini keberuntungan masih berpihak terhadapku, tak jauh dari tempat ban bocor, terlihat tukang tambal ban sedang menanti pasiennya.
“Rejeki sudah diatur oleh yang di Atas” begitulah yang Aku pikirkan.
Ban bocor merupakan musibah buatku, tapi menjadi rejeki bagi orang lain yang berprofesi sebagai tukang tambal ban. Dengan gembira tukang tambal ban tersebut menyambutku.
Segera dibongkar ban belakang, terlihat paku dengan panjang 5 cm menancap. Sumber penyebab berupa paku, dimasukan ke kaleng oleh tukang tambal ban. Sedikit Aku lirik, ternyata dikaleng tersebut sepertiganya berisi paku yang sama.
Belum selesai ban ditambal, dari ujung pandangan terlihat seorang ibu muda mendorong sepeda motor matic dengan anak balita duduk diatas jok. Tak bisa Aku bayangkan bagaimana bila Susanti dan Kayla yang mengalami kejadian tersebut ditengah terik matahari.
Akhirnya ibu muda tersebut ikut mengantri untuk ditambal bannya yang bocor. Beberapa waktu tukang tambal ban memutar roda depan mencari tahu penyebabnya. Dengan jeli Aku memperhatikan setiap senti putaran roda, paku dalam kondisi baru yang menjadi sebab kebocoran. Sama persis dengan paku yang menancap di ban belakangku.
Kecurigaan timbul, melihat paku yang menjadi sumber kebocoran disepeda motorku dan ibu muda tersebut, sama dengan paku-paku yang ada dikaleng tadi.
“Apabila ada satu lagi kendaraan mengalami bocor ban, maka Aku akan menyimpulkan bahwa rejeki tukang tambal ban bukan diatur oleh Tuhan. tapi oleh dirinya sendiri” kesimpulanku dalam hati.
Setelah membayar Rp. 7000 untuk ongkos tambal ban, Aku lanjutkan perjalanan ke rumah. Semakin dekat kerumah, membuat hati semakin ragu. Alasan apa yang akan Aku berikan ke Susanti, mengapa Aku pulang lebih awal. Apabila Aku berkata jujur telah dipecat, rasanya akan menyakiti Istriku tersayang.
Dalam sisa perjalanan sampai rumah Aku mencoba mencari beberapa alasan yang tepat untuk memberi jawaban ke Susanti. Mesin sepeda motor sudah mati, Aku ambil kunci kontak dari lubangnya dan berjalan menuju pintu.
Di depan pintu, Aku lebih takut dibandingkan tadi ketika akan memasuki ruangan Pak Danu. Ketika tangan kanan akan meraih gagang pintu, secara tiba-tiba pintu terbuka, sontak membuat Aku kaget.
Ternyata Susanti yang membuka pintu, mendengar suara sepeda motor yang sudah dihafal berhenti diteras depan. Tanpa banyak kata, Susanti meraih tanganku, mencium tanganku dan mengucapkan salam.
“Kok tumben mas tidak mengucapkan salam” kata Susanti.
“Mas kok dah pulang, Mas sakit?” disertai tangan kanannya memegang keningku. “Kok gak panas”
“Masya Allah, mas kalo kangen Kayla tidak perlu pulang secepat ini” kata Istriku lagi.
Aku gemetar, keringat dingin keluar dan tubuh menjadi kaku, tidak tahu harus berkata apa. Melihat perubahan pada diriku, Susanti menjadi panik. Segera membimbingku untuk duduk dikursi tamu, disertai membantu membuka jaket yang masih Aku kenakan.
Susanti berlari menuju dapur untuk mengambil segelas air putih. Dengan bantuan tangan Susanti, pelan-pelan Aku meneguk air putih yang baru diambil dari lemari es.
Setelah Aku tenang, Susanti mencoba menanyakan kembali, apa yang terjadi pada diriku. Terdengar berkali-kali ajakan dari Susanti untuk pergi ke dokter memeriksakan kesehatanku.
Beberapa waktu Aku terdiam, mencari kata-kata yang tepat untuk memberitahu bahwa Pak Danu sudah menghentikanku sebagai karyawannya. Dengan pelan dan penuh kehatian, Aku menceritakan kejadian hari ini di kantor.

Menjelang siang hari, tangis pecah diruang tamu setelah Susanti mendengar penjelasanku. Tangisan Istriku semakin keras, membuat Aku tak kuasa untuk ikut menangis dan memeluk Susanti. Ditengah-tengah tangisan berdua, terdengar suara tangis sang buah hati, Kayla putri pertama Kami.
Categories: ,

0 comments:

Post a Comment