Saturday, December 27, 2014

WIJI THUKUL Teka-teki Orang Hilang


Bagi pemuda kelahiran tahun 1990-an, tidak banyak yang mengetahui sosok Wiji Thukul. Bahkan bagi orang Solo sekalipun, masih banyak yang belum mengetahui aktivis cadel yang tidak bisa melafalkan huruf “r” tersebut. Wiji Thukul merupakan bagian sejarah yang terjadi pada pergolakan politik ditahun 1998. Sosok yang sederhana berambut lusuh, berpakaian kumal tetapi dianggap berbahaya oleh Pemerintah. Melalui selebaran, poster, stensilan dan buletin propaganda yang disebar, mampu menggerakan kaum buruh dan petani untuk membeci terhadap Orde Baru.


Wiji Thukul adalah pengamen puisi yang berisi kritik terhadap pemerintahan dimasa Orde Baru, dia menjadi simbol “perlawanan” bagi kaum bawah.

Seri Buku Tempo Prahara-Prahara Orde Baru yang berjudul Wiji Thukul merupakan salah satu buku yang membahas kisah hidup, “perjuangan”, masa pelarian dan sampai dimana keberadaannya yang masih belum diketahui hingga sekarang. Buku setebal 160 halaman, cetak pertama kali pada bulan Juni, tahun 2013 yang merupakan terbitan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Pada bagian pertama, Dari Kota ke Kota, menceritakan perjalanan Wiji Thukul untuk bersembunyi dari Solo ke Salatiga, Yogyakarta, Magelang, Jakarta dan Kalimantan. Pelarian dimulai ketika polisi datang ke rumah kontrakan di Kampung Kalangan, Solo. Dengan cerdik, Wiji Thukul bersikap tenang dan menemui tamunya. Polisi yang datang pada kala itu tidak mengira kalau sosok yang menemui mereka adalah Wiji Thukul. Polisi mengira bahwa yang menemui mereka adalah Joko, teman Wiji Thukul dari Yogyakarta.
Dalam persembunyian, dia sempat mendapatkan ilmu penyamaran dari Cendikiawan Arief Budiman. Oleh Arief Budiman yang pernah mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana, Wiji Thukul diberi bekal uang untuk hidup hingga sebulan. Walau berpindah ke beberapa kota, Wiji Thukul masih bisa bertemu dengan istrinya, Diah “Sipon” Sujirah melalui jaringan teman-temannya yang menyembunyikan dia.

Karena keinginan Wiji Thukul untuk datang ke Jakarta, melalui bantuan aktivis prodemokrasi membantu menyembunyikan di beberapa tempat. Dia juga pernah disembunyikan di rumah Indriani yang berlokasi di Perumahan Bojong Gede, Bogor. Indriani merupakan aktivis perempuan asal Yogyakarta yang terkabung dengan Solidaritas Perempuan.

Pada masa pelarian, Wiji Thukul kerap membawa buku bacaan untuk teman-temannya. Dia juga pernah bersembunyi disekitar Kampung Kebon Jati, Karawaci, Tangerang. Di kontrakan ini, Wiji Thukul tinggal selama lima bulan dengan Lukman Hakim, salah satu aktivis Partai Rakyat Demokratik.

Dalam bagian Hilang dalam Prahara, berisi tentang beberapa aktivis yang berhasil ditangkap. Nama Wiji Thukul berulang kali disebut pada saat interogasi, salah satunya adalah Nezar Patria. Tim interogasi berulang-ulang kali menayakan keberadaan Wiji Thukul kepada dirinya.

“Kamu kenal Wiji Thukul? Dimana dia sekarang?” Ketika Nezar tak menjawab pertanyaan itu, buk, buk, sejumlah pukulan melesak di perutnya. Halaman 64.

Selain Nezar Patria ada Mugiyanto yang ikut ditangkap dan dibawa ke markas koramil. Pada saat bersamaan ada pula Jaka yang ditangkap dan di interogasi bersama Mugiyanto, yang ternyata personel Koppasus bernama Kapten Djaka Budi Utama. Mugiyanto sendiri dibawa ke markas Koppasus di Cijantung, Jakarta Timur.

Selain membahas tentang penangkapan beberapa aktivis, pada bagian ini juga mengulas tentang penemuan mayat di perairan Kepulauan Seribu yang di duga menjadi tempat pembuangan korban tergedi di Jakarta.

Pada halaman berikutnya membahas tentang anggota Tim Mawar setelah tragedi penculikan, beberapa anggota bekerja di luar kegiatan militer dan yang lain masih bekerja dalam militer. Ada juga yang setelah pensiun bergabung dalam partai politik.
Pada bagian Biji Tumbuh Perlawanan Buruh, membahas tentang perjalanan hidup pribadi Wiji Tukul sebelum menjadi aktivis maupun sesudahnya. Wiji Thukul aktif dalam kegiatan gereja pada masa remaja, yakni di Kapel Sorogenen, Solo. Bersama adiknya, Wahyu Susilo, mendatangi gereja pada Ahad pagi yang juga diminta kakaknya untuk membawakan buku doa dan nyanyian Madah Bakti.

Dilembar berikutnya mengulas tentang Wiji Thukul muda yang tergabung dala Teater Jagat. Cempe Lawu Warta, pendiri Teater Jagat yang terletak di Kampung Jagalan Tengah, Kelurahan Jagalan, Jebres, Solo adalah guru yang mengajari Wiji Thukul dalam kesenian. Sempat kesulitan dalam menemukan bakat yang tepat untuk Wiji Thukul dan kemudian hari diketahui bahwa berbakat dalam membawakan puisi.

Atas bantuan Halim H.D, aktivis kebudayaan jebolan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Wiji Tukul mampu membuka wawasan dan jaringan dalam membawakan puisi. Salah satunya adalah menggagas dan membantu ngamen keliling Jawa pada 1986-1987. Wiji Thukul juga kerap meminjam buku kepada Halim, sebagai sumber bacaan. Selain buku teori sastra, buku Tan Malaka, Sjahrir, Bung Hatta merupakan buku yang dii pinjamkan ke Wiji Thukul.

Unjuk rasa di sepenjang jalan menuju pabrik garmen PT Sri Rejeki Isman Textile, adalah salah satu yang membekas buat Wiji Thukul, salah satu matanya luka kena pukulan dan benturan dikap mobil. Akhirnya, berkat bantuan dana dari rekan-rekannya, berhasil di operasi di Rumah Sakit Mata Dr Yap, Yogyakarta.
Yo iku paitanmu, modalmu sing paling penting. Wong mlarat mung duwe paitan cangkem, piye kowe nyuworo (Itulah moal kamu yag paling penting. Bagi orang miskin, mulut adalah modalnya, bagaimana kalian bersuara)” halaman 110.

Categories:

0 comments:

Post a Comment